Oleh : Ika Wahyu
Zaman Peradaban Sungai Indus
Zaman Peradaban Sungai Indus
Sejarah
kebudayaan India dimulai pada zaman perkembangan kebudayaan-kebudayaan yang
besar di Mesopotamia dan Mesir. Antara 3000 dan 2000 tahun sebelum Masehi,
rupa-rupanya di lembah sungai Sindhu (Indus) tinggalah bangsa-bangsa yang
peradabannya menyerupai kebudayaan bangsa Sumeria di daerah sungai Efrat dan
Tigris. Terutama terdapat di dekat kota Harappa di Punjab dan di sebelah utara
Karachi. Di sana terdapat kota Mojohendaro, yang mana pperadaban yang maju
telah ditemukan di kota ini, halini dapat dilihat dari bangunan rumah-rumah
yang berdinding tebal dan bertangga. Penduduk India pada zaman itu terkenal
sebagai “bangsa Drawida”. Mula-mula mereka tinggal tersebar di seluruh negeri,
tetapi lama-kelamaan hanya hanya tinggal di sebelah utara, mereka hidup sebagai
orang yang ditakhlukkan dan bekerja pada bangsa-bangsa yang merebut negeri itu.
Mereka adalah bangsa-bangsa kulit hitam dan berhidung pipih, berperawakan kecil
dan berambut keriting.
Antara
2000 dan 1000 tahun sebelum Masehi masuklah ke India kaum Arya yang datang ke
sebelah utara India. Kaum Arya adalah
kaum yang memisahkan diri dari kaum sebangsanya di Iran dan yang memasuki India
melalui jurang-jurang di pegunungan “Hindu Kush”. Bangsa Arya tergolong dalam
apa yang kita sebut rumpun-bangsa Indo-Jerman. Mereka menetap di dataran sungai
Sindhu yang pada zaman itu masih subur; jadi di daerah itu mereka telah
menjumpai suatu peradaban tua. Mereka berkulit putih dan berbadan tegap, bentuk
hidungnya melengkung sedikit. Kemudian mereka lebih jauh memasuki India sampai
ditepi sungai Gangga dan sampai disebelah selatan. Tetapi mereka semakin
bercampur dengan bangsa Drawida dan dengan demikian terwujudlah suatu kesatuan.
Berkat peleburan kebudayaan Drawida yang tua itu dengan kebudayaan Arya terjadilah
kemudian kebudayaan India.
Bangsa
Arya lebih unggul di dalam ilmu peperangan dari pada bangsa Drawida. Mereka
masih merupakan bangsa setengah normad (pengembara), yang baginya pertenakan
lebih besar artinya daripada pertanian. Bagi bangsa Arya kuda dan lembu adalah
binatang-binatang yang sangat dihargai, sehingga binatang-binatang itu dianggap
suci. Dibandingkan dengan bangsa Drawida yang tinggal di kota-kota dan yang
mengusahakan pertanian serta menyelenggarakan perniagaan di sepanjang pantai.
Jadi
dapatlah disimpulkan dengan jelas bahwa agama Hindu sebagai agama tumbuh dari
dua buah sumber yang berlainan, tumbuh dari perasaan dan pikiran keagamaan dua
bangsa yang berlainan, tetapi kemudian lebur menjadi satu.
Pada
zaman ini kehidupan keagamaan orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang
disebut Weda Samhita, yang berarti
pengumpulan Weda. Kata Weda berarti pengetahuan (Wid=tahu). Menurut tradisi
Hindu kitab-kitab ini adalah ciptaan Dewa Brahma sendiri. Isinya diwahyukan
oleh Dewa Brahma kepada para resi atau para pendeta dalam bentuk mantra-mantra,
yang kemudian disusun sebagai puji-pujian oleh para resi tadi sebagai
pernyataan rasa hatinya.
Sebagai
wahyu dewa yang tertinggi maka Weda-weda itu disebut sruti, yang secara harfiah berarti apa yang didengar, yaitu
didengar dari dewa yang tertinggi[2].
Orang Hindu yakin, bahwa Kitab-kitab Weda bukan hasil karya manusia. Weda-weda
adalah kekal. Weda adalah napas Tuhan, kebenaran yang kekal yang dinyatakan
atau diwahyukan oleh Tuhan kepada para resi. Para resi tadi melihat atau
mendengar kebenaran itu.
Sesudah
dibukukan mantra-mantra itu dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita), yaitu[3]:
Rg-weda
Rigweda berasal dari
kata “rig” yang berarti memuji. Kitab
ini berisi 1000 puji-pujian kepada para dewa dalam bentuk kidung, dan
masing-masing kidung (sukta) terbagi
dalam beberapa bait. Bagian akhir Rig Weda membicarakan perawatan orang mati,
pembakaran dan penguburannya. Menurut umat Hindu, Rig Weda ini sangat penting .
Didalamnya terdapat pengertian dan isyarat akan agama yang monoteistis dengan
falsafah yang monistik.
Sama-weda
Sama-Weda, hampir
seluruh isinya diambil dari Rg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya
dengan Rg-Weda ialah puji-pujiannya diberi lagu (Sama=lagu). Imam atau pendeta
yang menyanyikan Sama –Weda disebut Udgatr.
Menyanyikannya pada waktu kurban dipersembahkan.
Yajur-Weda
Weda ini tidak hanya
memuat mantra-mantra dan persembahan Soma saja, akan tetapi juga mantra-mantra
yang diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajur weda memiliki hubungan yang
sangat erat dengan Rig weda dan Sama Weda, dan ketiganya sering disebut dengan
“Tri-Wedi”. Dalam kitab ini tidak
menguraikan tentang pemujaan terhadap dewa tetapi tentang mantra-mantra
bagaimana cara agar kurban menjadi makanan para dewa.
Atharwa-Weda
Para Atharwan adalah golongan
pendeta tersendiri. Dalam Weda ini dijumpai lagi kidung-kidung yang harus
diucapkan pada waktu mempersembahkan Soma. Isi Atharwa Weda berupa
mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya sendiri sudah dianggap
sudah memiliki kekuatan.
Isi kepercayaan dalam Weda Purba[4]
Menurut
Kitab-kitab weda Samhita ada dua golongan zat hidup, yang kedudukannya lebih
tinggi daripada manusia. Dewa-dewa yang bersikap pemurah terhadap manusia dan
berkenaan menerima pujaan manusia, dan para roh jahat yang bersikap memusuhi
manusia, yaitu dewa-dewa yang bersikap pemura terhadap manusia dan berkenan
menerima pujaan manusia, dan para roh jahat yang bersikap memusuhi manusia,
yang karenanya harus dilawan oleh manusia dengan pertolongan para dewa atau
dengan upacara keagamaan.
a) Dewa-Dewa
Kitab Rig-Veda menyebutkan adanya 33 dewata, yang dapat
dibedakan atas dewa-dewa langit, dewa-dewa angkasa, dewa-dewa bumi.
Yang
termasuk dewa-dewa langit di antaranya adalah: dewa Waruna yang dipandang
sebagai pengawas tata dunia atau rta. Selain itu rta juga dipandang sebagai
tata tertib susila. Sebagai pengawas rta Waruna juga memberikan hadiah atau
pahala kepada yang baik dan menghukum kepada yang jahat. Orang yang baik ialah
orang yang mengikuti hukum rta. Dewa yang termasuk dewa langit ialah, dewa Wisnu,
dewa Surya, dll. Yang termasuk dewa-dewa angkasa diantaranya adalah Indra, dewa
perang; dewa Marut, dewa angin ribut; dewa Wayu, dewa angin. Yang termasuk
dewa-dewa bumi ialah, dewi Prthiwi, dewi bumi; dewa Agni, dewa api.
b) Roh-Roh
Ada dua golongan roh jahat, yaitu roh jahat yang tinggi
mertabatnya, yang menjadi musuh para dewa. Di antaranya adalah Wrta, musuh dewa
Indra, yaitu roh yang menguasai musim kemarau. Roh jahat yang tergolong rendah
martabatnya, di antaranya adalah raksasa, yang sering menampakkan diri sebagai
binatang atau sebagai manusia, dan Pisaca yang makan daging mentah atau
jenazah.
c) Korban
Umat
Weda memuliakan para leluhur mereka dengan menyelenggarakan upacara korban,
yang selain dilakukan dengan harapan supaya para dewa melindungi manusia dari
gangguan roh jahat, juga supaya para dewa memberikan kelancaran, kemurahan dan
ketenangan serta ketentraman. Pelaksanaan kurban ini dipimpin oleh pendeta yang
membujuk dan merayu para dewa untuk mengabulkan permohonan manusia.
Dua
macam upacara kurban simbolik yang penting adalah[5]:
pertama kurban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam kitab Rigweda, yang
menyebutkan bahwa yang mahatinggi telah menjalani korban untuk penciptaan; dan
kedua adalah korban Sarwaweda di mana manusia mengakui kemahakuasaan Tuhan
secara universal sehingga kemudian dewa melimpahkan
segala miliknya kepada seluruh
manusia.
Selain itu masih
ada korban Rajasuya, korban untuk penobatan dan kedaulatan raja yang
diselenggarakan dengan upacara yang disebut Aswameda. Disertai pembacaan
doa-doa yang tersebut dalam kitab Rigweda, irama music yang diselingi bunyi
seruling, makan atau pesta bersama, dan diakhiri dengan pengucapan doa untuk
kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Untuk keperluan sehari-hari korban
dilakukan oleh kepala keluarga yang diselenggarakan di api keluarga.
Agama Brahma
Peralihan
dari zaman Weda Samhita ke zaman Brahmana tidak dapat ditunjukkan dengan jelas,
terjadi pelan-pelan tanpa ada batas yang jelas. Agama Brahnmana, yaitu bagian Kitab
Weda yang kedua. Kitab-kitab ini ditulis oleh para iman atau Brahmana dalam
bentuk prosa. Isinya memberi keterangan tentang kurban. Karena zaman ini adalah
suatu zaman yang memusatkan keaktifan rohaninya pada kurban. Oleh sebab itu
kitab Brahmana menguraikan upacara kurban, membicarakan nilainya serta mencoba
mencari asal usul kurban itu.
Pada
zaman Brahmana timbul perubahan-perubahan Suasana. Ciri-ciri zaman ini adalah[6]:
a. Kurban
mendapat tekanan yang berat
b. Para
imam menjadi golongan yang paling berkuasa
c. Perkembangan
kasta dan asrama
d. Dewa-dewa
berubah perangainya
e. Timbulnya
Kitab-kita sutra
Dalam
zaman Brahma ini juga membahas tentang:
a) Kaum
Pendeta
Pergeseran penting dalam hal korban ialah semakin
tingginya nilai yang diberikan kepada korban tersebut sehingga berhasil atau
tidaknya maksud dan tujuan korban sangat tergantung pada kekuatan korban itu
sendiri, dan tida tergantung pada kemurahan dewa tetapi pada kekuatan yang ada
pada arti dan bunyi mantra-mantra dan perbuatan dalam korban tersebut. Penjelasan
mengenai hal-hal tersebut terdapat dalam kitab Wedanga. Oleh karena yang
mengetahui hal-hal tersebut adalah para brahmana, bahkan mereka juga dapat
mengetahui dan mempengaruhi nasib manusia, alam semesta dan bahkan para dewa,
maka kedudukan para brahmana menjadi sedemikian penting.
Dalam
kitab Brahmana dan Wedanga korban diterangkan secara panjang lebar. Ada dua
macam korban, yaitu; korban besar, menggunakan empat macam api suci dan
dilakukan oleh para pendeta dengan permintaan orang yang memerlukannya. Korban
besar ini diuraikan dalam srauta-Sutra. Di antara korban besar yang terpenting
ialah korban kuda (Aswameda), dilakukan oleh seorang raja yang menganggap
korban ini sebagai ujian bagi kekuasaan dan kekuatannya. Dengan korban ini ia
akan menjadi seorang cakrawartin, raja seluruh alam semesta, pencipta
perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan; korban kecil banyak diuraikandalam
kitab Grhya-Sutra. Korban ini hanya memerlukan kelengkapan yang sederhana,
cukup dengan api suci yang ditaruh di setiap rumahtangga. Api tersebut dibuat
oleh setiap kepala rumahtangga. Nitya termasuk korban kecil yang harus
dilakukan pada saat-saat tertentu seperti pada permulaan musim baru, bulan
muda, bulan purnama, dll.
Pada
zaman ini korban bukan lagi merupakan upacara
agama yang sebenarnya. Korban bukan lagi berpusat pada dewa tetapi pada manusia
dan hubungan antara manusia dan dewa sudah merupakan hubungan yang bersifat
magis saja. Pada zaman selanjutnya korban ini sangat dikecam oleh ajaran
Upanishad.
c) Kasta
Agama
Brahmana juga mengenal kasta-kasta, yaitu kasta Brahmana (pendeta), Ksatria
(pemegang tampuk pemerintahan), Waisya (pekerja), dan Sudra (rakyat biasa).
Prinsip dasar peraturan catur varna (empat kasta) adalah endogamis. Perpidahan
kasta tidak diperbolehkan dan juga tidak mungkin. Artinya seorang laki-laki
harus hanya kawin dengan wanita dari kasta yang sama, dan anaknya lahir dalam
kasta yang sama dengan orang tuanya.Varna atau kasta yang lebih tinggi selalu
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih “enak”. Hal ini tercantum dalam
kitab undang-undang Manawa Dharma Sastra.
d) Asrama
Asrama
adalah tingkatan hidup. Dalam agama Brahmana ada empat tingkatan hidup yang harus
dilalui setiap orang penganut agama tersebut. Sebelum memasuki keempat
tingkatan tersebut setiap orang harus lebih dahulu melakukan upacara upanayana,
yaitu upacara menjadikan seseorang anak menjadi “dwija” dan resmi menjadi anggota kasta, serta siap memasuki
tingkatan hidup pertama, yaitu kehidupan sebagai Brahmacarin. Anak yang meninggalkan rumah orang tuanya dan menetap
sebagai siswa (sisya) di kediaman seorang guru untuk mempelajari isi kitab Weda
dan pengetahuan agama lainnya. Kalau pelajaran sudah selesai, anak segera
pulang dan kawin.
Mulailah
ia memasuki tingkat kedua, Grhasta,
yang dimulai dengan perkawinan. Upacara perkawinan termasuk upacara terpenting
yang diselenggarakan dirumah. Selesai melakukan upacara ini kedua mempelai
melangkah sebanyak tujuh langkah ke timur-laut sambil diperciki air suci.
Sambil memegang tangan istrinya, suami mengucapkan mantra-mantra kemudian
membawa api suci yang harus tetap dipeliharanya dirumah. Setelah itu mulailah
kehidupan sebagai suami istri dan kepala keluarga.
Tingkatan
ketiga adalah Vanaprastha (kehidupan
dihutan; vana=hutan). Tingkatan ini adalah tingkatan yang harus ditempuh
seseorang apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibannya
sebagai kepala keluarga diserahkannya kepada anak laki-laki. Adakalanya ia
masuk hutan bersama istrinya supaya dapat memberikan ketenangan dan keheningan
berfikir dalam upayanya mencapai kesempurnaan hidup.
Tingkatan
terakhir, atau yang keempat ialah Sanyasin,
yaitu tingkat pertapa yang telah lepas dari kehidupan duni. Sekalipun ia masih
hidup di dunia ini namun ia sama sekali telah melepaskan diri dari permasalahan
dunia sehingga terbuka kesempatan untuk mencapai moksa.
e) Dewa-Dewa
Oleh karena korban dipandang sebagai alat yang dapat
menjadikan manusia menjadi Tuhan dunia, maka dengan sendirinya dewa-dewa tak
lagi memegang pernanan penting di dalam kehidupan keagamaan.
f) Sutra-Sutra[8]
Pada zaman ini mulai timbul-timbul kitab-kitab Sutra,
yaitu kitab-kitab pedoman yang berisi petunjuk-petunjuk tentang banyak hal, dan
yang ditulis dalam kalimat-kalimat yang pendek. Kitab ini tidak tergolong Weda,
melainkan termasuk kitan Wedangga, atau anggota Weda. Isinya membicarakan hal
ilmu bahasa, upacara-upacara, tata bahasa, ilmu pengetahuan tentang soal dan
arti kata, dll.
Agama Upanisad
Hidup
keagamaan pada zaman ini bersumber pada bagian akhir Weda, yaitu Kitab-kitab
Aranyaka dan Upanisad. Kitab-kitab Arayanka disusun oleh para pertapa yang
berada didalam hutan (aranya). Isinya pada umumnya membicarakan teman-teman dan
hal-hal mistik , magis, yang juga dibicarakan didalam Kitab-kitab Upanisad.
Kata
upanisad berasal dari kata upani=dekat, didekatnya; shad=duduk. Yang berarti
duduk di dekat seorang i guru, yaitu untuk mendengarkan, dan menerima ajaran
dan pengetahuan sang guru. Ajaran Upanisad dapat disebut monism yang bersifat
idealistis artinya ajarannya mengajarkan bahwa segala sesuatu dapat
dikembalikan pada satu asas. Adapun asas yang satu itu adalah Brahman dan
Atman.
Brahman
adalah asas alam semesta, sedang Atman adalah asas manusia. Hanya Brahman dan
Atman inilah yang memiliki kenyataan. Dunia badani yang tak tampak ini tidaklah
nyata, keadaannya hanya semu saja (maya). Tetapi pada akhirnya Brahman adalah
Atman. Didalam Atman itulah Brahman menjaji imanen, yang tak terbatas. Tat twam
asi, artinya: Itu (Brahman) adalah kamu, (Chand. Up.VI,8,7). Atau juga Aham
Brahma asmi, artinya Aku adalah Brahman (Brh. Up. I,4,10)[9].
a) Karma
Upanisad
mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk dan takhluk terhadap karma, baik
manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Karma meliputi kehidupan dahulu,
sekarang dan yang akan datang. Karma berarti kehidupan atau perbuatan
berikutnya sebagai akibat dari perbuatan sebelumnya. Setelah manusia itu mati
pengetahuan dan amal perbuatannya akan membimbing dia. Barangsiapa berbuat baik
ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia yang baik, dan sebaliknya. Karena
itu manusia perlu dilahirkan kembali berulang kali di dunia supaya perbuatan
jahatnya dapat tertebus. Hanya Atman saja yang mulia dan tinggi yan sudah tahu
akan maya saja yang mampu mengatasi hukum karma dan mencapai kebebasan serta
lepas dari samsara.
b) Samsara
(reinkarnasi)
Samsara adalah perputaran kelahiran kembali.
Hanya menusia yang telah mencapai atman yang mulia dan yang tahu akan maya saja
yang dapat mengatasi hukum karma dan mencapai moksa. Orang semacam ini akan
terlepas dari keterikatannya dengan proses ulang kelahiran kembali atau
samsara. Untuk dapat lepas dari samsara ia harus menghancurkan dan menumpas
keinginan-keinginannya, yaitu dengan mengetahui bahwa Atman dalah Brahman.
Barang siapa dapat mencapai tingkatan ini ia akan menvapai moksa, yaitu
kelepasan, dan sadar bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia akan mencapai
kekuatan dengan Brahman, dan berhak disebut sebagai jiwanmukta.
c) Pengetahuan
Sejati
Upanisad mengajarkan bahwa Brahman
sebagai asas kosmos adalah sama dengan Atman sebagai asas manusia. Ungkapan
yang sangat dikenal adalah Parana Atman,
jiwa tertinggi atau Maha Jiwa, hanya satu dan identik benar dengan jiwa
perorangan (pratyagatman). Ungkapan “jasad dan jiwa” mengandung arti bahwa
jasad adalah kesadaran dan jiwa adalah pengemudinya. Pengetahuan seperti itu adalah pengetahuan yang sejati,
dan hanya orang yang dapat menguasai dirinya saja yang dapat mencapai ilmu
sejati semacam itu karena ilmu seperti itu hanya dapat dicapai dengan usaha
yang sungguh-sungguh dalam menguasai batin[10].
d) Brahman
dan Atman
Ada
perbedaan yang sangat mendasar antara pengertian Brahman dalam Upanishad dengan
pengertian kata tersebut dalam agama Brahmana. Mula-mula Brahmana berarti doa
dan kemudian kekuatan gaib yang etrkandung dalam doa. Karena dalam agama
Brahmana korban dan doa dinilai tinggi sekali, maka arti Brahmana pun menjadi
sangat tinggi pula. Dalam agama Upanishad, Brahman dianggap sebagai yang
menyebabkan adanya dan berlangsungnya segala sesuatu yang ada. Brahman pula
yang menyababkan segala gerakan dan perubahan. Brahman menjadi semacam “jiwa
alam semesta”. Hal ini diungkapkan dalam Mundaka Upanishad III, 1:7,8 sebagai
berikut,...
Atman
adalah jiwa individu dan Brahman adalah “jiwa universal”. Atman… bukan jasmani,
bukan indrawi, bukan kehidupan, bukan pikiran. Atman adalah jiwa, hakekat
terdalam dari jiwa individu itu sendiri....
Dalam
Upanishad kadang-kadang dungkapkan statemen yang agak mengejutkan bahwa “Atman
adalah Brahman”; artinya bahwa Tuhan manifestasi dalam jiwa setiap individu.
Ini memberikan kemungkinan kesatuan jiwa dengan Tuhan, dan sesungguhnya itu
adalah ekspresi ungkapan keesaannya. Dengan kata lain setiap makhluk memilki
Atmannya sendiri yang menyebabkan makhluk itu sadar akan “aku”nya; kemudian
semakin jelas bahwa Upanishad mengajarkan monisme yang idealistis, bahma segala
sesuatu dapat dikembalikan kepada satu asas. Asas yang satu ini adalah Brahman
dan Atman. Brahman adalah asas alam semesta dan Atman adalah asas manusia.
e) Moksa
Moksa atau kelepasan dapat dicapai dengan melepaskan diri
dari segala kekuasaan karma, melepaskan diri dari segala perbuatan. Di dalam
batinnya menusia harus lepas dari pada segala macam pekerjaan[11].
Daftar
Pustaka
Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha. BPK Gunung Mulia.
Jakarta 1989
cet. 6
I. Gst. Ngurah Nala,
I.G. K. Adia Wiratmadja, Muraddha Agama Hindu.
Matius Ali, Filsafat
India,
Mukti Ali. Agama-agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press.
Jogyakarta 1988 cet. I
Masa
Reaksi / Klasik[12] (300 S.M. – 1000 S.M.)
Spekulasi canggih
serta mistisisme intelektual ternyata tidak dapat memuaskan aspirasi religious
manusia biasa. Reaksi ini diikuti oleh spekulasi sekelompok kecil
arif-bijaksana yang memisahkan diri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a)
Penekanan pada moralitas, pengendalian diri dan
kerja yang baik.
b)
Interpretasi yang rasional terhadap masalah
kehidupan manusia.
c)
Penolakan terhadap ritualisme serta menghormati
kehidupan dunia hewan.
d)
Kepercayaan terhadap Tuhan personal, kepada siapa
manusia dapat memuja dan mempersembahkan devosinya.
Reaksi popular tercermin dalam
gerakan-gerakan seperti: Budhisme, Jainisme, Shaivisme, dan Vaishnavisme. Namun
pada abad ke-6 S.M. Di India muncul dua gerakan utama yang mendudukkan diri
mereka di luar kekolotan hukum Weda, yakni Budhisme dan Jainisme. Budhisme dan
Jainisme menolak otoritas atau tradisi Weda, terutama mengenai komitmen
terhadap tujuan serta kehidupan duniawi, institusi kasta dan tahap-tahap
kehidupan, paling tidak sebagian, jika tidak seluruhnya. Hindhuisme merumuskan
dirinya dalam menghadapi tantangan ini, dengan menyatakan validiras Weda serta
hukum kasta (varna), dan tahap-tahap
kehidupan (asrama).
Pada mulanya, gerakan Budhuisme
dan Jainisme menarik banyak perhatian orang dan menjadi kekuatan yang cukup
besar. Jika melihat dari bukti-bukti srkeologis dari abad ke-2 S.M. sampai abad
ke-2 M, maka bukti menunjukkan bahwa gelombang pasang sedang memihak pada
Budhisme, dan sejumlah orang asing yang masuk ke India pada waktu itu juga
menjadi pengikut Budhisme.
Namun lambat laun gelombang
pasang tersebut mulai berbalik. Pendirian dinasti Gupta di India Utara sekitar
300 M, memberikan tanda kebangkitan Hindhuisme. Pada abad ke-3 sampai abad
ke-10, Hindhuisme telah berhasil secara gemilang mendudukkan diri sebagai agama
dominan di India. Kebangkitan Hindhuisme di masa klasik terkait erat denagn
kebangkitan kesadaran akan Weda, yang secara grafis digambarkan lewat imaji
raksasa seekor babi yang merupakan reingkarnasi dewa Wishnu, yang menyelamatkan
bumi dari kejatuhannya.
Ciri
utama masa ini menunjukkan fakta bahwa Islam memberikan sebuah konteks mendasar
bagi perkembangan Hinduisme sebagai teks. Hindhuisme berkembang dengan baik,
sampai kedatangan Islam, dalam mengakomodasikan, jika bukan menyerap semua
tantangan dalam bentuk agresi dari luar dan perpecahan yang datang dari dalam.
Islam memberikan pengaruh ganda dalam Hindhuisme. Di satu puhak Islam
menganjurkan perpindahan agama; di pihak lain Islam mendorong kecenderungan
yang lebih egaliterdan monoestik bagi kaum Hindu. kemudian muncul tokoh-tokoh
yang berusaha menjebatani jurang pemisah antara keduanya. Sebagai contoh adalah
Kabir (abad ke-15), Guru Nanak (1469-1538), Dadu (1544-1603).
Kabir
menulis sekumpulan kidung yang dikemal sebagai “Bijak”; Dadu, pengikut Kabir
dan pendiri Parabhahmana-sampradaya, bermaksud
menyatukan semua agama menjadi satu. Tulsidas (1532-1623) adalah penulis teks
Ramayana dalam versi bahasa Hindi (Rama-caritamanasa) dan Vinaya-patrika; Guru Nanak (1469-1538) menulis teks suci kaum Sikh
(Granth Sahib), yang berisi kidung-kidung yang ditulis oleh guru-guru mereka
serta oarng-orang religius lainnya, baik Hindu atau Muslim. Pada abad ke-15
muncul gerakan Caitanya, yang menekankan pembacaan Weda secara umum, merupakan
sebuah usaha untuk menghindarkan Hindhuisme agar tidak menjadi agama rumah dan
perapian saja. Gerakan devosional ini menekankan kekuatan penyalamatan dalam
nama Tuhan-terutama Krishna dan Rama, sehingga berpuncak pada pernyataan
paradoks bahwa nama Tuhan adalah lebih besar dari Tuhan sendiri. Gerakan
devisional (bhakti) ini dikatakan
berasal dari India Selatan, dimana para devoti Wishnu dan Shiwa sudah mencapai
puncaknya pada abad ke-9.
Islam
masuk ke wilayah India Selatan dengan disingkirkannya Deogiri oleh Malik Kafur
pada 1307. Sejarah mencatat bahwa ketiga aliran utama Vedânta yang diwakili
oleh Shankara (abad ke-9), Râmânuja (abad ke-12) dan Madhva (abad ke-13) muncul
di Selatan. Pada masa ini, dua gerakan politik berbasis Hindu yang cukup
berhasi adalah kerajaan Vijayanagar di Selatan dan kerjaan Marathas di bagian
Barat India (terlepas dari kaum Sikh di Punjab). Di masa kerajaan Vijayanagar, terjadi keangkitan kembali
studi atas Weda dan menyatakan dirinya sebagai pelindung Weda. Puisi-puisi
devosional saat itu berpusat pada Rama dan Krishna, yang merupakan ingkarnasi
Wishnu.
Ciri
paling menonjol pada masa Muslim (1200-1757) ini adalah berkembangnya agama
Wishnu (Vaishnavism). Dua nama besar dari Selatan adalah Valaba (1479-1531)
dari India Selatan dan Caitanya (1486-1533) dari wilayah Bengal. Keduanya
mengajarkan jalan devosi yang berpusat pada Krishna dan Radha. Vaishnavisme ini
disebarkan di wilayah Maharastra oleh Namadeva (abad ke-14) dan Tukaram (abad
ke-17); sedangkan di Utara, Vaishnavisme berkambang dalam bentuk penyembahan
terhadap Rama. Tokoh-tokoh terkenal dari India Utara adalah (abad ke-14), Dadu (1544-1603) dan Tulsidas (1532-1632).
Pengaruh
Islam dapat dilihat dari gerakan religius di India Utara dengan ciri monoteisme
ketat, tanpa menghiraukan perbedaan kasta dan menolak pemujaan terhadap imaji
(patung, gambar, dsb). Sebagai contoh adalah Kabir (abad ke-15) yang
mengajarkan sebuah agama universal berdasarkan pada realisasi personal akan
Tuhan yang tinggal di dalam hati manusia. Kemudian, Guru Nanak (1469-1538)
mendirikan agama Sikh (1469-1538) yang berusaha untuk menyelaraskan Islam dan
Hindhuisme.
Masa Modern[14]
(1800-1947)
Pengaruh
budaya Barat memberikan dampak menentukan bagi Hindhuisme, walaupun Hindhuisme
popular dan tradisional yang menguasai masyarakat umum. Rasionalisme dan
Positivisme cukup memikat pikiran orang-oarang yang tidak puas dengan
Hindhuisme tradisional. Berbagai gerakan reformasi dimulai, dimana Brâhmo-Samâj, Ârya-Samâj dan Râmakrishna Mission merupakan gerakan
yang paling penting. Secara umum dapat dikatakan bahwa Barat telah membuat
penganut Hindhuisme lebih sadar akan keniscayaan untuk menjaga nilai-nilai
tradisional Hindhuisme, walaupun mereka harus menyesuaikan diri dengan
mentalitas modern. Masuknya orang-orang Inggris sebagai penjajah membuat
Hindhuisme menghadapi situasi yang berbeda secara kualitatif. Masuknya Inggris
mengurangi kekuatan Islam, namun Hindhuisme harus menghadai kekuatan baru,
yakni agama Kristen. Pada saat yang sama ancaman baru Hindhuisme yakni: sains,
sekularisme, dan humanism.
Orang-orang
Barat membantu menemukan kembali studi atas kitab Weda. Tokoh reformasi Hindu
pertama adalah Raja Rammohun Roy berusaha untuk membernakan monoteisme yang
berbasis Vedânta. Sekitar 1830, dia mendirikan gerakan Brâhmo-Samâj di wilayah
Bengal untuk melanjutkan perjuangannya. Kemudian di akhir abad ke-19, Swami
Dayananda Saraswati mendirikan gerakan Ârya-Samâj di Bombay, memperkuat
keabsolutan Weda yang telah dicetuskan oleh gerakan Brâhmo-Samâj.
Menjelang
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perkembangan Hindhuisme mengalami sebuah
proses pembalikan. Pada perkembangan sebelumnya, tradisi Hindhuisme memperkeras
posisinya untuk mempertahankan otoritas Weda karena dibawah tekanan Budhisme,
Jainisme dan Matrealisme. Di masa modern meskipun mendapat tekanan dari sumber
Kristiani rasional, reformis, modernis, Hindhuisme tidak bereaksi dengan cara
yang sama. Hindhuisme sekarang meninggikan pengalaman religious di atas
otoritas religious dan tidak lagi terikat pada otoritas Weda. Sri Ramakrishna
kadangkala melakukan penolakan terhadap Weda dan hanya menggunakannya sebagai
sebuah symbol. Hampir semua tokoh-tokoh religius India di masa modern, semua
mengambil inspirasi mereka dari Weda, walaupun bukan dari otoritas Weda, dan
bahkan Sri Ramana Maharsi (1878-1950) mewajibkan pembacaan Weda secara teratur
di âsram Tiruvannamalai.
Zaman
Kemerdekaan India
Sebelum
India merdeka persengketaan wilayah daerah Punjab dan Benggala telah terjadi
antara Persatuan Muslimin (Pakistan) dan India, yang pada saat itu pada
hakekatnya negara Pakistan sudah berdiri. Mengingat keselamatan bangsa dan
negara pada waktu peralihan kuasa dari tangan Inggris ke India, maka Kongres
dengan sabar hati mengizinkan pembagian wilayah tersebut.
Pada
tanggal 15 Agustus 1947, dikota New Delhi (India) dan Karachi (Pakistan) rakyat
telah berkumpul dimuka gedung untuk menyaksikan berbagai upacara kemerdekaan
yang dilangsungkan. Pandit Jawaharlal Nehru merupakan Perdana Menteri Luar
Negeri (Perhubungan Commonwealth) pertama di India. Pidatonya menerangkan arti
saat yang dirajakan itu dengan meninjau pada sejarah perjuangan untuk merebut
kemerdekaan yang kini telah dicapai. Kemerdekaan ini tidak lepas dari bapak
rakyat Mahatma Gandhi , bapak pergerakan kebangsaan India dan pahlawan yang
merebut kemerdekaan bangsa dengan tidak memakai atau mementingkan senjata.
Permasalahan
pembagian wilayah atau daerah antara India dan Pakistan masih terus berlanjut
sampai kedua Negara itu merdeka dan berdaulat pada 15 Agustus. Hal ini
merupakan soal pertama yang harus dipecahkan oleh pemerintah, yaitu pembagian
masalah dan perpindahan penduduk yang ingin atau yang dipaksa pindah dari
negara satu ke negara yang lain. Setelah
panitia pembagi dan panitia urusan pembagian Punjab dan Benggala yang
dibentuk pemerintah India dibubarkan. Maka, dua komisi perbatasan dibentuk
yaitu untuk Punjab dan Benggalayang kedua-duanya diketuai oleh Sir Radeliffe. Meskipun
telah dibentuk dua komisi yang beranggotakan perwakilan dari kedua negara,
pertentangan hebat antara mereka tidak dapat terelakkan. Karena kebulatan
pikiran dalam kedua Komisi tidak tercapai, maka anggota-anggota setuju apabila
ketua sendiri mengeluarkan pendapatnya yang akan diterima oleh Komisi,
lebih-lebih sebab jalan ini diperbolehkan Undang-Undang Dasar sementara.
Pakistan
mendapat negeri-negeri yang subur yang diairi dengan sistim pengairan yang
luas, jalan-jalan perhubungan, hutan-hutan, perkebunan-perkebunan,
industry-industri dam kota Lahore yangmempunyai lembaga-lembaga kebudayaan dan
ilmu pengetahuan. Pembagian India sebagai akibat teori Dua Negara yang
dianjurkan Pakistan dan nyata mendapat kemenangan menimbulkan sengsara yang
luar biasa. Berbulan-bulan lamanya, sebelum dan sesudah pencerahan kedaulatan
kepada India dan Pakistan terbitlah permusuhan. Jika dihitung jumlah kurbannya
telah merupakan perang saudara antara golongan-golongan bangsa di India, ini
terjadi terlebih-lebih saat pemindahan.untuk mengatasi hal ini kedua negara
telah menandatangani perjanjian untuk membayar kerugian-kerugian yang diderita
rakyat mesing-masing sebagai akibat pemindahan.
Penggabungan
kerajaan-kerajaan Swapradja
Peninggalan
pemerintahan Inggris adalah 566 kerajaan swapradja pada hari penyerahan
kedaulatan yang harus ditentukan kedudukannya. Adalah empat jalan untuk
menetapkan kedudukan kerajaan-kerajaan itu dalam Negara kesatuan India, yaitu:
a. Menghapuskan
Negara-negara kecil dan meleburkan daerah-daerah itu kedalam daerah propinsi.
Ada juga yang tidak dihapuskan tetapi dijadikan sebagian provinsi.
b. Kerajaan-kerajaan
itu diambil oper sebagai daerah istimewa dibawah perintah Presiden dan
Parlemen.
c. Menyatukan
kerajaan-kerajaan dalam beberapa gabungan yang sama kedudukannya dengan
provinsi.
d. Kerajaan-kerajaan
yang belum menentukan kedudukannya ditahun 1948 atau akan berdiri sendiri yaitu
Hyderabad, Mysore, Kashmir, Manipur,dan Tripura diprovinsi Assam.
Penggabungan
itu berarti bahwa seluruh pemerintahan di India harus bersandar pada
undang-undang dasar yang bersifat demokratis.
Pengorbanan
Jiwa Mahatma Gandhi
Masa
penyusunan negara baru yang penuh kesukaran-kesukaran dan diberatkan lagi oleh
pemindahan rakyat dari daerah-daerah yang diserahkan kepada Pakistan meminta
kebijaksanaan yang luar biasa dari pemertintah. Di Delhi tidak terhambat lagi
diantara kaum-kaum pelarian yang hendak membalas dendamnya atas kaum Muslimin,
akan tetapi dengan usaha Mahatma Gandhi kegelishan itu dapat diteduhkan dalam
beberapa hari.
Beliau
tidak berkeputusan membantu pemerintah dimasa yang genting itu dengan
memberikan nasehat kepada rakyat dan memperingatkan bahwa bangsa India harus
berdiri atas kebenaran, menjauhkan kekerasan dan setia kepada ajaran setyagraha
yang hanya membawa kemenangan dan keadilan untuk selama-lamanya. Hari ulang
tahun beliau 2 Oktober dirayakan dengan penuh keyakinan bahwa perdamaian pasti
akan tercapai antara golongan Hindu dan Muslimin di India selama cita-cita
beliau yang murni itu tetap jadi pedoman pemerintah dan masyarakat.
Ketika
Mahatma Gandhi hendak berpidato dihadapan rakyat yang berkumpul didepan gedung
Birla, punya salah satu pengusaha. Pada saat beliau menuju ke tempat berbicara
sekonyong-konyong terdengarlah bunyi lepasan tembakan pistol empat kali
berturut-turut. Pada saat itu juga Mahatma Gandhi jatuh dan ditangkis cucunya
serta keluarganya. Darah menitis dari bahu dan dada beliau yang memerahi baju
putih yang biasa dipakai beliau. Dokter-dokter dengan seger datang tetapi
sia-sia belaka dengan keadaan pingsan dan tidak sadar Mahatma menutup matanya
untuk selama-lamanya.
Seorang
munafik yang melakukan perbuatan yang kejam itu ialah Narayan Vinayak Gadse. Ia
seorang anggota dari partai Mahasabha, berasal dari Poona dimana ia memimpin
surat kabar yang sangat anti kongres.
Soal
Khasmir
Menurut
Indian Independence Act kerajaan-kerajaan swapraja diizinkan memilih atas
kemauan sendiri dengan negara manakah mereka hendak bergabung, dengan India
atau Pakistan. Kerajaan Jammu dan Kashmir berpenduduk dari tiga golongan yaitu:
Muslimin, Hindu, dan Sikh akan tetapi yeng terbanyak adalah Muslimin. Pada saat
itu yang menjadi raja yang memerintah adalah keturunan Hindu.
Sebelum
raja Jammu dan Kashmir dapat menetukan dengan Negara mana ia akan menggabungkan
diri, negerinya diserang dan dimasuki oleh bangsa Afridi yang berdiam didaerah
batas Khasmir dan beragama Islam. Dalam
keadaan genting itu, raja Jammu dan Khasmir menyatakan dengan resmi
bahwa ia akan menggabungkan kerajaannya dengan Negara India. Ia meminta bantuan
militer untuk melindungi kerajaannya terhadap serangan gerombolan-gerombolan
Afridi dan Pakistan yang terang menyokong penyerang-penyerang itu. Perselisihan
antara India dan Pakistan terus terjadi sampai datang Komisi (UNCIP) paad bulan
Juni 1948 ke Kashmir. Setelah mengadakan penyelidikan disana, maka Komisi mengirim
laporan kepada Dewan Keamanan disertai usul-usul yang menjadi dasar terjadinya
perjanjian internasional antara Pakistan dan India, yang diadakan pada 13
januari 1949. Dalam perjanjian itu ditentukan:
a. Kedua
belah pihak akan menghentikan permusuhan dan menetapkan garis demarkasi untuk
tentara masing-masing.
b. Pakistan
akan mengeluarkan gerombolan-gerombolan kailah yan menyerbu kedalam negeri
Khasmir dan pasukan-pasukan sukarela yang membantu Pakistan.
c. Pakistan
akan menarik seluruh tentara dari Khasmir dan India sebagian besar.
d. Pleblisit
akan dilakukan dibawah pengawasan badan Plebisit yang berhak menentukan
kedudukan pasukan-pasukan yang akan tinggal dalam negeri Khasmir dan Jammu.
Meskipun
telah diadakan perjanjian diatas persengketaan antara India dan Pakistan masih
terus berlanjut. Karena kedua belah pihak mempertahankan kepentingannya dengan
sekeras-kerasnya, sambil mengemukakan alasan-alasan yang kuat. Sengketa ini
membayang-bayangi kemungkinan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan Dewan.
Undang-Undang
Dasar Baru. India menjadi Republik
Dengan
keputusan konstituante yang diambil pada 29 Agustus 1949, diangkatlah Panitia
Perencana ynag terdiri dari 7 orang yaitu: Dr Ambadkar, N. Gopalaswami
Ayyangar, Alladi Krishnaswami Ayyar, K.M. Munshi, Muh Saadullah, N. Madhva Rau,
dan D.P. Khaitan. Pekerjaan pembentukan Undang-undang itu memakan waktu 2 tahun
11 bulan 17 hari (dari 9 Desember 1946 sampai 26 Nopember 1949). Mukaddimah
dalam Undang-undang itu disebut bahwa
rakyat India membentuk India menjadi suatu Republik yang berdaulat dan
demokratis dan menjamin untuk sekalian warga negara: Keadilan, dalam lapangan sosial, politik, dan ekonomi; Kemerdekaan berpikir, mengucapkan
pendapat, mempunyai kepercayaan, beriman dan beribadah; Persamaan dalam kedudukan dan kelapangan hidup dan memperkokoh; Persaudaraan yang menjamin penghormatan
atas diri seseorang dan atas kesatuan bangsa seluruhnya. Dasar negara seperti
Pancasila tidak didapat di India. Yang disebut hanya sifat-sifat negara yaitu
berdaulat, dan demokratis dan tujuannya.
Secara
garis besar Undang-undang itu berisi:
a. Negara
tidak boleh mengadakan perbedaan antara rakyat dalam lapangan hukum dan
cara-cara memperlindungi rakyat secara hukum (fasal 14).
b. Negara
dilarang membeda-bedakan rakyat oleh sebab agama, bangsa, golongan, kelamin,
atau tempat lahir (fasal 15).
c. Kedudukan
orang yang tidak berkasta dalam arti ia tidak boleh bergaul dengan orang
berkasta, dihapuskan. Tindakan yang semata-mata mempertahankan perbedaan itu
akan dihukum (fasal 17).
Penutup
Meskipun
India telah menjadi Negara Republik tetapi rakyat belum merasai hasil-hasil
perubahan itu, rakyat tetap sengsara, tetap ditimpa kelaparan seperti dimasa
lampu. Karena kelapangan unuk mencari kepentingan sendiri, untuk mendahulukan
keluarga dan handai taulan dalam merebut pangkat, korupsi, pasar gelap, dsb
luas sekali. Akan tetapi pada permulaan pertengahan abad India mengambil bentuk
republic yang demokratis, dan duniawi (seculer) dan menetapkan suatu
undang-undang dasar yang radikal dan modern, yang dapat dibanggakannya.
Mungkin
usaha pembaharuan itu dapat dilaksanakan dengan berpegang teguh kepada
dasar-dasar filsafat Hindu yang murni sebagai telah menjelma dalam Mahatma
Gandhi, mumngkin juga India akan melepaskannya dengan menempuh jalan yang lebih
mementingkan materialism dan kuasa kekuatan.
Daftar
Pustaka
Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha. BPK Gunung Mulia.
Jakarta 1989
cet. 6
I. Gst. Ngurah Nala.
I.G. K. Adia Wiratmadja, Muraddha Agama Hindu.
Matius Ali. Filsafat
India. Sanggar Luxor. Tangerang, 2010
Mukti Ali. Agama-agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press.
Jogyakarta 1988 cet. I
[1]
Matius Ali, Filsafat India, (Tangerang: Sanggar Luxor, 2010), c.
,h. 17
[2] I.
Gst. Ngurah Nala, I.G. K. Adia Wiratmadja, Muraddha
Agama Hindu.h. 44
[3]
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), cet. 16, h. 17
[4]
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, cet. 16, h. 18
[5]
Mukti Ali, Agama-agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988),
cet. I, h. 65
[6]
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, cet. 16, h. 21
[8]
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha,
cet. 6, h. 20
[9]
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha,
cet. 16, h. 26
[10]
Mukti Ali, Agama-agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988),
cet. I, h. 74
[12]
Matius Ali, Filsafat India, h. 19
[13]
Matius ali, Filsafat Islam, (), c. , h. 23-26
[14]
Matius Ali, Filsafat India, c. 1 , h. 26-30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar