Oleh : Ika Wahyu .s.
Sad Darsana
Kata
Sansekerta “darsana” berasal dari kata “drs” berarti melihat, yakni suatu
istilah sansekerta untuk filsafat. Sad Darsana
membentuk sistim filsafat klasik India, yakni : Nyaya, Vaisiseka,
Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Semua metode filsafat ini menuju ke
pengetahuan mengenai Kebenaran Mutlak dan Kebebasan Roh/Sukma/Soul[1].
Sebagai bahan studi , Sad Darsana , wawasan ini dapat di klasifikasikan sebagai
berikut:
1)
Sistim
Samkhya
Sistim
Samkhya merupakan sistim tertua, yang berusaha menyelaraskan falsafat Weda
dengan perantara akal budi. Sistem Samkhya merupakan filsafat pertama yang
menguraikan proses evolusi kosmik secara sistimatikdengan penelitian seksama.
Samkhya berusaha menguraikan alam semesta sebagai suatu kesatuan yang meliputi 25
kategori dan di klasifikasikan menjadi 4 judul:
a) Yang
tidak dihasilkan dan tak menghasilkan
Kategori
ini ialah Jiwa Kosmik (PURUSA), yakni yang tak berevolusi serta tak berkembang;
yang tak menyebabkan yang mana juga bukan sebaba musabab daripada sesuatu keadaan
yang bermode baru.
b) Yang
tidak dihasilkan tapi menghasilkan
Unsur
kedua disebut Unsur Zat Kosmik (PRAKRTI), yakni yang tak berevolusi tapi
berkembang, sebab musabab yang tak menyebabkan daripada keadaan phenomena.
c) Yang
dihasilkan dan menghasilkan
Unsur
ketiga terdiri atas 7 kategori yang berkembang bertahap / lambat laun terjadi
disebabkan dan merupakan sebab musabab mode baru dari pada keadaan, yaitu:
MAHAT
(Kecerdasan Kosmik)
AHAMKARA
(Prinsip perwujudan individu)
5
TANMATRA (elemen halus panca indra), yakni:
Sari suara (Sabda)
Sari sentuhan (Sparsa)
Sari bentuk (Rupa)
Sari aroma (Rasa)
Sari wangian (Gandha)
d) Yang
dihasilkan dan tidak menghasilakan
Unsur
ke empat terdiri dari 16 kategori yang berkembang, disebabkan sesuatu, tapi
tidak merupakan sebab musabab dalam keadaan mode baru, yaitu:
FIKIRAN
KOSMIK (MANAS/COSMIC MIND)
5
Jenis daya pancaindra abstrak
Daya
pendengaran (SROTA)
Daya
merasakan (TVAK)
Daya
penglihatan(CASKUS)
Daya
perasaan lidah (RASANA)
Daya
pencium (GHRANA)
5
KARMENDRIYA (Pancaindra kerja abstrak/Abstract Working Senses)
a. VAK
(daya menyatakan)
b. UPASTHA
(daya memperanakkan)
c. PAYU
(daya mengeluarkan)
d. PANI
(daya memegang)
e. PADA
(daya bergerak)
5
MAHABUTA (PANCA MAHA BHUTA/SENSE PARTICULARS)
a. AKASA
(Unsur Ether)
b. VAYU
(Unsur Udara)
c. TEJAS
(Unsur Api)
d. APAS
(Unsur Air)
e. PRTHIVI
(Unsur Tanah)
Purusa
dan Prakrti
Purusa
artinya, jiwa /roh alam semesta, yaitu
prinsip kodrat alam meengobori semangat universil dan ini merupakan sumber
kesadaran /keinsyafan. Purusa sering sekali identik dengan Brahma, Visnu, Siva,
Durga.
PRAKRTI, artinya yang ada sebelum sesuatu dihasilkan,yakni
sumber atau asal utama daripada segala sesuatu yang ada; unsur zat yang orsinil
dari yang mana segala sesuatu dijadikan, dan akhirnya segala sesuatu akan
kembali kepadanya. Prakrti dapat dipahami perantaraan akal budi, dan diketahui
melalui praktek Yoga.
Guna
Prakrti
terdiri atas tiga unsure pokok daya yang disebut: GUNA (Daya) yaitu[2]:
a. Sattva
Guna yaitu daya terang atau tenaga yang membawa kegirangan, kebahagiaan, dan
sebagainya.
b. Rajas
Guna yaitu tenaga penggerak yang menimbulkan kepedihan.
c. Tamas
Guna yaitu tenaga yang menentang aktivitas, yang menimbulkan mati rasa atau
sifat masa bodoh, lamban, malas, dan sebagainya.
Prakrti
dengan ketiga daya/gunanya merupakan akar dari segala perubahan, fondamen
realitas dan inti-sari dari segala unsure benda. Sedangkan Purusa dan Prakrti
dengan ketiga guna-nya adalah roh dan unsur zat alam semesta, demikian teori
sistim Sāmkhya.
2)
Sistim
Vedanta
Akibat
dari penafsiran yang berbeda-beda maka timbullah aliran-aliran filsafat
Wedanta. Secara umum aliran filsafat Wedanta ada tiga yang terkenal yakni:
aliran Adwaita oleh Sankara, Wasistadwaita oleh Ramanuya, Dwaita oleh Madva[3].
Aliran
filsafat Wedanta:
1. Adwaita
Adwaita artinya “tidak
dualisme” maksudnya Adwaita menyangkal bahwa kenyataan ini lebih dari satu
(Brahman), walaupun demikian sistim ini bukan bersifat monistis yang
mengajarkan bahwa segala sesuatu dialirkan dari satu asas saja, melainkan
disamping dari Brahman masih ada Atman yang merupakan sumber kekuatan.
Tokoh aliran ini adalah
Sankara (788 - 820 M). sankara ragu-ragu akan ketentuan dari Upanisad yang
menyatakan bahwa dunia ini menciptakan oleh Brahman, akan tetapi tidak percaya
akan keaneragaman di alam ini sebagai yang dianjurkan oleh Ramanuya. Sankara
menyatakan ada secara nyata (sat) adalah kekal. Hanya Brahmanlah yang disebut
Sat, artinya hanya Brahmanlah yang kekal. Di luar Brahman keadaan adalah a-Sat,
artinya di luar Brahman tidak ada sesuatu apapun. Akan tetapi dunia ini Nampak
beraneka ragam. Jadi dunia bukanlah sat, dunia ini bukan Brahman. Sankara juga
menyatakan bahwa dunia ini bukan a-sat, tidak ada sama sekali. Sebab dunia ini
Nampak benar-benar ada, dapat kita amati. Oleh karena itu harus dikatakan bahwa
dunia adalah betul-betul ada dan maya, karena tidak kekal.
Menurut Sankara bahwa
Brahman, disatu pihak sama dengan jiwa perorangan dan dengan dunia, akan tetapi
dilain pihak dibedakannya.
2. Wasistadwaita
Tokoh filsafat ini
ialah Ramanuya (1050-1137), ia menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis
komentar tentang Bhagawadgita. Alirannya disebut Wasistadwaita. Wasistadwaita
berasal dari kata wasis dan dwaita, wasis berarti yang diterangkan atau yang
ditentukan yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu itu diberi
keterangan oleh sifat-sifatnya.
Menurut Ramanuya adalah
bahwa Brahman Jiwadan dunia memang berbeda, tetapi tidak dapat dipisah-pisahka,
sekalian ketiga-tiganya adalah kekal[4].
3. Dwaita
Tokoh aliran ini adalah
Madva (1199-1278), menurut dwaita pokok-pokok ajaran dwaita adalah perbedaan
(bheda). Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini
adalah nyata bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theistis, karena
menerima adanya Tuhan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madva
mengakui/ percaya dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam[5].
Dasar ajaran Madva
adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semuanya
mempunyai ciri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan.
Pada prinsipnya perbedaan itu adalah segala sesuatu adalah mempunyai wujud
tersendiri. Menurut Madva dunia ini ada lima macam perbedaan, yaitu:
a. Perbedaan
tentang Tuhan dengan Jiwa manusia,
b. Perbedaan
antara Jiwa dengan Jiwa lainnya,
c. Perbedaan
antara Tuhan dengan benda,
d. Perbedaan
antara Jiwa dengan benda,
e. Perbedaan
antara benda yang satu dengan benda yang lainnya.
Tuhan,
Jiwa dan benda ketiganya sama-sama kekal adanya, sekalipun demikian hanya Tuhan
yang merdeka dan bebas, tidak bergantung kepada siapapun dan apapun.
3)
Sistim
Yoga
Istilah
“Yoga” berasal dari katadasar ‘yuj’ berarti penggandaran atau bergabung.
Bermakna bergabungnya jiwa individu (jivatman) dengan Jiwa Universil
(Paramatman). Sistim Yoga adalah suatu sistim kebudayaan untuk menyempurnakan
kerapian manusia. Dasar filsafat sistim Yoga adalah sistim Sāmkhya. Para rsi
kuno telah memperluas hukum-hukum evolusi alam semesta yang mencakup evolusi
individu,memperlihatkan bahwa individu hanya merupakan dunia kecil (mikrokosmos)
daripada alam semesta besar (makrokosmos). Sistim ini yang berlaku bagi indivdu
disebut Filosofi Yoga. Pembina sisitim Yoga adalah Patanjali, namun bukan ia
menemukan ilmu Yoga, sebab Yoga adalah suatu kesenian yang terdapat sejak awal
adanya waktu.
Tujuan
utama Yoga ialah membebaskan manusia dari ketiga jenis penderitaan:
a. Yang
timbul dari kelemahan, kesalahan tingkah laku dan penyakitnya.
b. Yang
timbul dari perhubungannya dengan makhluk lain, seperti harimau, pencuri, dll.
c. Yang
timbul dari perhubungannya dengan Alam diluar, seperti elemen-elemen dan
daya-daya abstrak, halus yang sukar diketahui.
Filosofi sistim Yoga
Sistim
Yoga juga mengandaikan doktrin kosmos seperti yang dijelaskan sistim Sāmkhya.
Salah satu perbedan yang terdapat antara kedua sistim ialah: sistim Sāmkhya
condong kepada kondisi universil alam, sedangkan sistim Yoga cenderung kepada
kondisi individu alam. Mengenai peoses evolusi dan ‘involusi’ (proses
kemunduran), kedua sistim itu sependapat. Kedua sistim tersebut berlandaskan
dasar logika utama sebagai pangkal pembicaraan yang tak mungkin barang sesuatu
dihasilkan dari “ke-tidak-adaan” dan sebab baying-bayang pasti ada sesuatu
hakekatnya. Oleh sebab itu sistim Yoga mempertahankan, bahwa individu kasar suatu
aspek halus yang daripadanya akan dijelmakan pribadinya, dan kepadanya ia akan
kembali. Menurut sistim Yoga, Jiva (Life) atau asas kehidupan itu bukan suatu
kreasi baru, ia hanya merupakan suatu pengembangan.
Individu
bertindak dari kondisi Jiwa Universil (Purusa) dan Unsur Zat (Prakrti) untuk
menjelma sebagai roh atau jiwa individu, maka manusia terdiri dari aspek halus
dan aspek kasar. Segala benda mempunyai kendaraaan/sarana untuk menjelma
masing-masing, kendaraan kekuatan spiritual ini disebut ‘linga sarira’. Linga
berarti tanda tak berubah-ubah yang membuktikan keadaan barang sesuatu,
‘sarira’ artinya: badan. Kedua istilah tersebut menggambarkan badan halus yang
disertai roh atau jiwa (jiva) individu yang menghidupkan badan fisiknya. Linga
Sarira terdiri dari 18 elemen yakin: kecerdasan (budhi), ego (ahamkara),
fikiran (manasi), 5 indera-mengenal (jnanendriya), 5 indera-bekerja
(karmendriya), 5 elemen halus (tanmatra).
Sastra
Yoga
Kitab
pelajaran tertua Yoga adalah Yogasūtra susunan Patanjali ada empat yaitu:
1. Berisikan
51 peribahasa/pepatah, memperbincangkan sifat dan tujuan Samadhi
(samādhipada)sebagai teori ilmu Yoga;
2. Berisikan
55 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan seni Yoga, menjelaskan jalan
untuk mencapai tujuannya, yakni latihan spiritual (Sādhanapāda).
3. Berisikan
54 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan kekuatan luar biasa/sakti yang
dapat tercapai perantaraan praktek-praktek Yoga (Vibhutipada).
4. Berisikan
34 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan emansipasi terakhir (Kaivaiyapāda),
realisasi manusia yang dapat memisahkan diri dari fikiran dan unsur zat.
4)
Sistim
Nyaya
Simtim
Nyaya adalah ilmu logika, memperlengkapi suatu metode falsafat yang benar untuk
menyelidiki obyek dan subyek penngetahuan manusia. Tujuan sistim Nyaya ialah
untuk memungkinkan umat manusia mencapai tingkat kehidupan tertinggi,
kesentosaan, penbebasan kemerdekaan dan sebagainya. Nyaya muncul akibat adanya
perdebatan diantara para ahli pikir didalam mereka berusaha mencari kebenaran
dari ayat-ayat Weda untuk dijadikan landasan melaksanakan upacara-upacara
korban. Dari hal itu timbullah kemudian patokan-patokan bagaimana mengadakan
penelitian yang benar dan logis. Sistim Nyaya dipelopori Gotama, yang hidup
pada abad keempat sebelum masehi dengan hasil karya disebut Nyaya-sutra. Nyaya merupakan
suatu sistim logika untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Sistim ini disebut
juga Tarkavidya (pengetahuan debat) atau Vadavidya (pengetahuan diskusi). Aliran filsafat Nyaya tergolong pula kedalam kelompok
filsafat astika (ortodok) yakni filsafat yang mengakui kedaulatan dan kebenaran
ajaran Weda. Nyaya mengajarkan bahwa
dunia diluar diri manusia benar-benar ada dan terlepas dari pikiran manusia
sehingga Nyaya disebut pula sistim yang realistis.
Manusia
dapat dapat memiliki pengetahuan tentang dunia diluar dirinya dengan
perantaraan indra-indranya serta fikirannya. Sejauh mana kebenaran dari alat
dan cara yang dipergunakannya dalam mencari kebenaran obyeknya. Cara atau alat
untuk mendapatkan pengetahuan disebut premana
dan pengetahuan yang benar disebut prama.
Nyaya mengajarkan ada empat alat atau cara untuk mencari atau mendapatkan
pengetahuan yang benar yaitu[6]:
1. Sabda
pramana (cara kesaksian);
2. Upamana
pramana (cara pembandingan);
3. Anumana
pramana (cara penyimpulan yang logis);
4. Pratyaksa
pramana (cara pengamatan langsung).
Disamping
pengamatan terhadap obyek yang nyata maka Nyaya juga mengajarkan bahwa obyek
yang yang tidak ada maupun yang tidak nyata pun dapat diamati.
Contoh:
adanya daun yang tidak berwarna hijau, sedangkan umumnya daun berwarna hijau.
Jika kita mengamati daun yamg tidak berwarna hijau maka kita akan melihat tidak
adanya warna hijau. Jadi, ketidak adaan warna hijau dapat kita amati melalui
daun tadi. Ini menunjukkan bahwa tidak adapun dapat diamati pula.
Tuhan
Nyaya
meyakini kebenaran Weda, maka penganut Nyaya (Naiyayika) percaya akan adanya
Tuhan dan Tuhan disamakan dengan Siwa. Untuk membuktikan adanya Tuhan Nyaya
mengemukakan dua macam pembuktian tentang Tuhan yaitu[7]:
a. Bukti
Kosmologi:
Pembuktian ini
menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu
tentu ada sebab yang pertama dan utama. Sebab itulah Tuhan. Tidak ada sebab
pertama kecuali Tuhan karena segala sesuatu yang diketahui oleh manusia
memiliki kemampuan yang terbatas selain Tuhan. Tidak ada sesuatu sebagai
penciptaannya sendiri kecuali Tuhan.
b. Pembuktian
Teologis:
Pembuktian ini menyatakan bahwa di
dunia ini ada suatu tata tertib dan aturan tertentu sehingga dunia menampakkan
suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Tentu ada yang
mengadakan rencana dan tujuan tersebut. Yang mengadakan itulah Tuhan.
Tuhan disebut juga Paratman karena Tuhan
termasuk golongan jiwa tertinggi yang bersifat kekal abadi, berada dimana-mana,
memenuhi alam dan merupakan kesadaran agung.
Tuhan menjadi sebab pertama adanya alam semesta. Tuhan sebagai penggerak
pertama dan utama dari atom-atom yang menjadikan benda-benda di alam ini. Tuhan
menciptakan, merawat, dan melebur alam dengan segala isinya sesuai dengan
pengaruh karma dari alam dan isinya. Tuhan pula menjadi pengatur dan
mengodratkan hukum kepada alam semesta sehingga berlakunya hukum alam (rta)
yang mengatur alam dengan segala isinya secara teratur dan harmonis. Dalam kekuasaan
inilah makhluk hidup menikmati suka-duka dalam usaha menuju kelepasan.
Tuhan
menciptakan alam ini adalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Walaupun demikian,
dunia ini diciptakan lengkap dengan derita dan kebahagiaan dalam bentuk yang
beraneka ragam. Dapat tidaknya makhluk menikmati kebahagiaan di dunia ini
sangat tergantung dari benar tidaknya pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk
itu untuk melandasi hidupnya.
Atma
Nyaya
juga mengakui adanya atma (jiwatma) yang menjadi penghidup semua makhluk hidup.
Makhluk hidup (manusia) terdiri dari badan, fikiran (manas) dan jiwa (atma).
Jiwa itu merupakan tenaga penggerak dan hidupnya makhluk hidup. Jumlah jiwatma
tidak terbatas serta bersifat kekal abadi, walaupun jiwa itu karena pengaruh
karma sering mengalami suka dan duka serta kelahiran kembali. Jiwātma menjadi
mengalami penderitaan ataupun kesenangan karena dilayani oleh manas (fikiran)
yang melalui panca-indra senantiasa menikmati panas-dinginnya, suka-dukanya
maupun berbagai keadaan di dunia ini.
Nyaya
juga meyakini kebenaran hukum karma sehingga menyatakan bahwa makhluk-makhluk
di dunia terikat akan hasil usahanya (karmanya). Karena keterikatan itu
menyebabkan jiwatma menjadi terbelenggu oleh hasil karmanya yang akhirnya
mengakibatkan makhluk mengalami suka dan duka (derita), jiwa mengalami
kelahiran. Selama jiwatma itu terikat akan phala karma, selama itu pula jiwatma
akan mengalami kelahiran. Hal itu disebabkan karena ketidaktahuan (awidya)
terhadap kebenaran sejati.
Kelepasan
Kelepasan
merupakan tujuan dari makhluk (manusia). Kelepasan akan dapat dicapai dengan
melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Pengetahuan akan didapat dari
tuntunan Tuhan melalui ajaranNya. Sebagai wujud dari kelepasan ialah
terbebasnya jiwatma dari kelahiran, kesenangan maupun penderitaan. Wujud dari
kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun phala
karma.
5)
Sistim
Mimamsa
Istilah
“Mimamsa” berasal dari katadasar “man”, berarti berfikir, memperhatikan,
menimbang atau menyelidiki. Ditinjau dari segi Etimologi (ilmu asal kata) ia bermakna: ingin berfikir; di sini menandakan suatu pemikiran pemeriksaan atau penyelidikan dari pada Weda, lantaran ia memperoleh suatu
pandangan dalam pada Weda—Kebenaran Abadi, maka digolongkan sebagai Darsana
(Falsafat), yaitu istilah Sansekerta untuk falsafat, artinya pandangan
Kebenaran.
Pembina
sistim Mimamsa ialah Jaimini. Mimamsa dibagi menjadi dua sistim, yakni
Purvamimamsa artinya, yang berurusan dengan bagian lebih dahulu dari pustaka
Weda. Sistim ini juga disebut Karma Mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam
Weda memimpin ke jurusan kebebasan roh/soul; Uttaramimamsa, berurusan dengan
bagian akhir dari pustaka Weda, sistim ini juga disebut Jnana Mimamsa menafsirkan pengetahuan
yang dikemukakan dalam/ pustaka Weda.
Tujuan
Mimamsa adalah menyelidiki sifat Perbuatan Benar (Dharma) dasar utamanya ialah
perbuatan (aksi) merupakan wujud kehidupan manusia. Perbuatan benar adalah
syarat mutlak kehidupan spiritual. Semua perbuatan mempunyai dua pengaruh atau
akibat; satu yang luar (external) dan satu yang dalam (internal); yang satu
nyata dan yang lain terpendam; yang satu kasar dan yang lain halus. Pengaruh
dalam bersifat kekal, dianggap sebagai “keadaan/being”; sedangkan pengaruh luar
bersifat sementara. Maka perbuatan berfungsi sebagai kendaraan untuk menanam
benih kehidupan pada masa yang akan datang.
Berlandaskan
pendapat tersebut, Mimāmsā memeriksa semua perbuatan terlarang dalam pustaka
Weda, serta membagi Weda menjadi dua bagian besar: Mantra dan Brahma. Perhatian
utama Mimāmsā adalah keselamatan (salvation), bukan pembebasan (liberation).
Mimāmsā menjiwai kehidupan bangunan bagian atas (superstructure) dari pada
kebudayaan India.
Falsafat
Pangkal
fikiran Mimāmsā tercantum dalam sajak pembukaan Mimāmsāsūtra (tersusun oleh
Jaimini) yang berbunyi: “Kini adalah pemeriksaan kewajiban (dharma)”. Inilah
dasar interprestasi seluruh Weda.
Definisi
‘dharma’ dalam teks tersebut berbunyi;”Kewajiban (dharma) adalah suatu obyek
terkenal melalui suatu perintah”. Istilah ‘dharma’ berasal dari kata ‘dhar’,
artinya memegang, menunjang, memelihara, atau mengawetkan. Kata ini bermakna
sesuatu untuk dipegang, dipelihara atau diawetkan. Apabila bila dipakai dalam
arti metafisika, ia berarti hukum Alam universil yang dapat diteruskan/dipertahankan
operasi alam semesta dan manifestasi segala benda/hal; dan berarti pula bahwa tanpa ini
(dharma) barang apapun tak akan terjadi.
Segala rituil dan upacara kebaktian yang diperintahkan
dalam pustaka Weda dikatakan bermanfaat bagi penerangan fikiran dan evolusi.
Oleh sebab itu sistim Mimamsa berusaha keras untuk membukakan betapa mereka itu
berlandaskan dharma demi kebaikan manusia, dan menafsir pustaka Weda sebagai
fondamen kebahagiaan abadi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan rituil
kebaktian berdasarkan dharma (korban) yang benar, dengan pengertian bahwa
kebajikan dikumpul lalu berbuah dalam kehidupan yang akan datang.
Menurut
Jaimini, pengetahuan
tentang dharma hanya dapat diperoleh melalui Penyaksian Kata-kata (Sabda).
Ke-enam sarana pengetahuan yang dipakai sistim-sistim lain, menurut Jaimini
kurang sempurna apabila berurusan dengan
pengaruh/efek ritual yang tak kelihatan; maka ia hanya menerima Sabda atau
Perkataan. Untuk mempertahankan kedudukannya (argumentasinya), ia menggariskan
lima pernyataan:
1. Setiap
Perkataan (Sabda) mempunyai daya yang berpautan dengan artinya yang kekal
abadi.
2. Pengetahuan
yang diturunkan dari Perkataan (Sabda) disebut Upadeca (ajaran).
3. Dalam
alam yang tak kelihatan, Perkataan (Sabda) merupakan penuntun mutlak.
4. Pada
hemat Badarayana, Perbuatan bersifat penguasa memerintah.
5. Perkataan
mencukupi keperluan pribadi, tidak tergantung pada pengertian yang lain, jika
tidak demikian ia akan menjadi buah fikiran yang tak benar.
Alam
Mimamsa mengatakan bahwa alam ini riil dan kekal serta
terjadi dari atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena
alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun
Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu:
Subtansi, kwalitas, aktifitas, dan sifat umum.
Subtansi menurut Prabaka terdiri dari sembilan yaitu:
1.
Bumi
6. Akal
2.
Air
7. Pribadi
3.
Api
8. Ruang
4.
Hawa
9. Waktu
5.
Akasa
Sedang Kumarila Bhata mengajarkan ada 11 bagian subtansi
yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara ditambah lagi dua yaitu: kegelapan
(tamasa) dan suara. Subtansi itu adalah sesuatu yang dapat diamati seperti debu
halus yang tampak dalam sinar matahari. Subtansi, kwalitas, dan sifat umum
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun
ketiganya itu sebenarnya berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan
yang bulat.
Weda
Mimamsa
mendasarkan ajarannya pada kitab suci Weda dan Weda diakui sebagai sumber
pengatahuan yang maha sempurna. Walaupun Weda amat sempurna dan manusia tidak
sempurna adanya, Weda bukan pula ciptaan Tuhan karena Weda telah ada tanpa ada
yang mengadakan dan Weda ada dengan sendirinya sertabersifat kekal abadi.
Kebenaran Weda mencakup kebenaran di dunia yang nyata ini dan di dunia yang
tidak tampak oleh manusia.
Untuk dapat dipraktekkan, Weda dibagi menjadi dua bagian
besar, yakni Mantra dan Brahmana; yang mana dibagi pula menjadi berikut[8]:
I.
Mantra atau Samhita: adalah sebagian Weda yang mengandung
perintah,merupakan koleksi dari nyanyian suci yang menerangkan dan membina
seseorang yang benar. Ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.
Rig-Veda: Suatu koreksi dari bagian yang mengandung
perintah dari Veda, merupakan koleksi sajak-sajak suci; yang bersusunan metris
untuk menyampaikan artinya.
2.
Sama-Veda: Suatu koreksi dari sajak-sajak yang
dinyanyikan pada akhir upacara korban.
3.
Yajur-Veda: Dalam prosa tanpa irama sajak, yang terdiri
dari dua jenis yaitu:
a.
Nigada, yang harys dilafalkan dengan keras suaranya.
b.
Upamasu, yang harus dilafalkan dengan suaru rendah atau
diam-diam.
II.
Brahmana
1.
Hetu – akal budi
2.
Nirvacanam – penjelasan
3.
Ninda – gugatan; kritik
4.
Prasansa – pujian
5.
Samsaya – kesangsian
6.
Vidhi – perintah
7.
Parakirya – perbuatan suatu individu
8.
Purakalpa – perbuatan para individu atau suatu negara
meliputi uraian suatu individu atau para individu yang ditandakan dengan
partikel ‘iti’, ‘ana’ atau ‘ha’.
9.
Vyavadharanakalpara – interprestasi suatu kalimat menurut
konteksnya
10. Upamana –
perbandingan
Prinsip-prinsip diatas dipakai dalam Mimamsa terutama
dalam upacara korban yang diperintahkan untuk kebaikan umat manusia.
Hukum Karma
Meskipun Mimamsa tidak mengajarkan hakekat hukum karma,
namum Mimamsa yakin akan adanya sebab akibat atau pahala dari suatu perbuatan.
Hukum karma merupakan hukum moril yang mengatur dunia beserta isinya. Apa yang
terjadi di dunia ini adalah merupakan akibat dari karma terdahulu. Makhluk dan
manusia tidak dapat membantah dan menentang serta lari dari kenyataan yang dia
alami, karena semua itu adalah pahala dari karma terdahulu. Karma yang baik itu
ialah perbuatan yang dilandasi oleh ketentuan yang diajarkan Weda yaitu: dharma
(korban). Dan upacara korban itu hendaklah dilakukan dengan semangat tinggi,
penuh kesadaran, tulus hati dan tidak mengahrapkan imbalan berupa buahnya.
Jiwa dan kelepasan
Makhluk-makhluk yang hidup di dunia ini terutama manusia
dipandang berjiwa oleh Mimamsa. Atas dasar itu maka Mimamsa mengakui
banyak jiwa di dunia ini. Atma (jiwa)
berjumlah tak terbatas dan ada dimana-mana serta kekal. Tiap-tiap tubuh mahkluk
yang hidup memiliki satu jiwa. Jiwa merupakan subyek dan obyek pengetahuan[9].
Jiwa itu adalah kesadaran, sehingga mampu mencapai
sebagai subyek pengetahuan. Sebagai obyek pengetahuan jiwa itu perlu
dimengerti, dirasakan, dan disadari oleh makhluk (manusia) itu sendiri. Jiwa
adalah kesadaran dalam diri manusia, maka jiwalah yang mengendalikan tubuh
manusia untuk mendapatkan kelepasan. Hubungan indra dengan jiwa (atma) sangat
erat karena indra merupakan alat untuk mengenal dunia luar yang selalu
dikendalikan oleh jiwa. Apapun yang diketahui oleh indra, jiwa pun mengetahui.
Sebagai untuk mencapai kelepasan manusia dalam hidupnya
senantiasa melakukan dharma yaitu, upacara keagamaan dengan benar-benar
dilandasi oleh ketentuan-ketentuan Weda, dan sedapat mungkin menjauhkan diri
dari segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan Weda. Bila jiwa itu kekal
dan mengalami sengsara setelah manusia meninggal dunia, maka jalan yang patut
ditempuh untuk membebaskan jiwa itu dari kesengsaraan adalah mengadakan upacara
korban terhadap jiwa itu. Karena upacara korbanlah yang akan dapat memebersihkan
dan membebaskan jiwa dari kesengsaraan. Orang yang tidak melakukan upacara
korban keagamaan ini berarti mereka secara perlahanlahan merusak hidupnya dan
tidak akan mendapatkan kelepasan, melainkan hanya nerakalah alam yang akan
ditempati oleh jiwanya kelak.
6) Sistim Vaisesika
Vaisesika merupakan salah satu aliran filsafat India yang
agaknya lebih tua dibandingkan dengan filasafat Nyaya-Vaisesika, fiolasafat ini
muncul pada abad ke 4 SM, denagn tokohnya ialah Kananda (ulaka). Buah
karyanya adalah Vaisesika Sutra yang merupakan sumber dari ajaran Vaisesika.
Secara umum Vaisesika membicarakan soal dharma yaitu apa yang memberikan
kesejahteraan di dunia ini dan dapat emmberikan kelepasan. Ajarannya yang
terpenting ialah tentang kategori (unsur) yang menjadikan segala sesuatu yang
ada di alam ini. Vaisesika menyatakan ada tujuh unsur (kategori) yang
menjadikan alam ini yaitu:
1. Subtansi
(drawya)
Subtansi adalah zat
yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun
unsur lain tidak dapat ada tanpa subtansi. Subtansi (drawiya) dapat menjadi
sebab yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau drawiya dapat menjadi tidak
ada pada apa yang dihasilkannya.
Contoh: tanah sebagai
subtansi telah terdapat pada periuk yang terjadi dari tanah. Jadi, tanah itu
selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan periuk itu tidak
dapat terjadi tanpa subtansi (tanah). Hal ini berlaku pada semua subtansi.
Ada Sembilan subtansi
yang dinyataklan oleh Vaisesika yaitu[10]:
1. Bumi
(tanah) 6. Waktu (kala)
2. Api
(panas)
7. Ruang (tempat)
3. Air
(zat cair)
8. Akal (manas)
4. Udara
(hawa)
9. Pribadi (jiwa(atma)
5. Akasa
(ether)
Semua
subtansi tersebut diatas, riil, tetap, dan kekal, namun hanya hawa, waktu, dan
akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan subtansi itulah membentuk
alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua
yang ada di ala mini baik bersifat physic maupun yang bersifat rohaniah.
Pandangan
Vaisesika terhadap jiwa jiwa adalah riil dan pluralis yaitu jiwa itu
benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya. Pandangan terhadap dunia Vaisesika
menyatakan bahwa dunia dengan segala isinya terjadi dari kumpulan atom-atom
yang riil dan tetap.
2. Kwalitas
(guna)
Guna ialah keadaan atau
sifat dari suatu subtansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda
(subtansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari subtansi yang diberi
sifat. Pada subtansi terdapat lima kwalitas kebendaan yaitu: bau, rasa, warna,
raba, dan rasa. Sedangkan kwalitas rohaniah terdiri dari duapuluh empat
kwalitas yakni:
1. Kesenangan 7.
Rasa 13. Perbedaan 19. Kepekatan
2. Kesediha 8.
Bau 14. Hubungan 20. Pengetahuan
3. Keinginan 9.
Sentulan 15. Kejauhan 21. Perjuangan
4. Dharma 10. Bunyi 16.
Kedekatan/ pertemuan 22.
Kecenderungan
5. Adharma 11.
Bilangan 17. Tak berhubungan 23. Kesegaran
6. Warna 12. Besar 18. Kecairan 24. Kebahagiaan
Hubungan
kwalitas dengan subtansi sangat erat dan tidak mungkin dipisahkan karena
keduanya senantiasa mewujudkan satu kesatuan.
3. Aktivitas
(karma)
Vaisesika meyakini
bahwa Tuhan secara anumana. Diyakini bahwa Tuhan adalah maha tahu, menjadi
sumber kesadaran tertinggi dan Vaisesika meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam
ini dengan jalan mengatur komposisi atom-atom yang ada. Karena Tuhan sebagai
sumber gerakan alam ini maka Tuhan Maha mengetahui segala gerak dan perilaku
benda-benda di ala ini termasuk mengetahui benar perilaku (karma) manusia.
4. Sifat
umum (samanya)
Sifat umum (samaya)
ialah sifat terdapat pada sekelompok atom yang sudah tentu berbeda-beda dengan
sifat atom lain, seperti sifat kelompok atom air akan berbeda dengan sifat
kelompok atom bumi maupun dengan sifat kelompok atom manas. Samaya menyebabkan
adanya kelompok-kelompok subtansi yang berbeda-beda di alam ini. Namun
disamping sifat umum, maka setiap benda termasuk atom-atom memiliki sifat
perorangan yang kekal, yang membedakan satu atom dengan atom lain.
5. Sifat
Perorangan (wisesa)
Sifat perorangan ada
banyak dan beraneka ragam karena setiap benda atau orang memiliki sifat
tersendiri dan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena setiap
subtansi memiliki wisesa maka, wisesa ini bersifat kekal, oleh karena ala mini
terjadi dari subtansiyang kekal.
6. Pelekatan
(samawaya)
Pelekatan juga bersifat
kekal dan hanya ada satu yang disebut Samawaya. Pelekatan dikatakan kekal
karena pelekatan itu trjadi pada benda-benda yakni pelekatan antara benda (zat)
dengan kwalitasnya seperti: api-panas, kapur-putih, tinta-hitam, dan
sebagainya. Sifat kelekatan itu hanyalah satu walaupun terdapat pada
bermacam-macam subtansi.
7. Ketidak
adaan (abhawa)
Abhwa dikatakan
katagori yang bersifat negatif karena abhawa menyatakan ketidak-adaan dari
sesuatu. Jadi, abhawa menyebabkan terjadinya sesuatu yakni ketidak-adaan.
Abhawa dibedakan atas dua yaitu:
a. Samsargabhawa
adalah ketidak adaan suatu benda karena memang belum pernah dibuat.
b. Anyonyabhawa
adalah ketidak adaan dari suatu benda karena rusak (hancur).
Demikianlah
ketujuh katagori itu menjadikannya segala sesuatu di alam ini sehingga manusia
menyaksikan adanya segala sesuatu beraneka ragam.
Daftar Pustaka
D.D. Harsa Swabodhi, Budha Dharma
& Hindu Dharma, Yayasan Perguruan “Budaya”, Sumatera Utara, 1980
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan
Buddha, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009
I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana,
Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta, 1990
[1]
D.D. Harsa Swabodhi, Budha Dharma &
Hindu Dharma,(Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya”,1980),h.10
[2]
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), cet. 16, h. 30
[3] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I
Gede Sura, Tattwa Darsana, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), h.
68
[4] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I
Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 78
[5] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I
Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 86
[6] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana
Budha Dharma & Hindu Dharma, (Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya”
& I. B. C, 1980), h. 21
[7] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana
Budha Dharma & Hindu Dharma, h. 25
[8] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana
Budha Dharma & Hindu Dharma, (Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya”
& I. B. C, 1980), h. 30
[9] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I
Gede Sura, Tattwa Darsana, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), h. 42
[10] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I
Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 31
keren.... sangat membantu. thanks yaa ;)
BalasHapus