Rabu, 19 Desember 2012

Sad Darsana



Oleh : Ika Wahyu .s.
Sad Darsana
Kata Sansekerta “darsana” berasal dari kata “drs” berarti melihat, yakni suatu istilah sansekerta untuk filsafat. Sad Darsana  membentuk sistim filsafat klasik India, yakni : Nyaya, Vaisiseka, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Semua metode filsafat ini menuju ke pengetahuan mengenai Kebenaran Mutlak dan Kebebasan Roh/Sukma/Soul[1]. Sebagai bahan studi , Sad Darsana , wawasan ini dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1)      Sistim Samkhya
Sistim Samkhya merupakan sistim tertua, yang berusaha menyelaraskan falsafat Weda dengan perantara akal budi. Sistem Samkhya merupakan filsafat pertama yang menguraikan proses evolusi kosmik secara sistimatikdengan penelitian seksama. Samkhya berusaha menguraikan alam semesta sebagai suatu kesatuan yang meliputi 25 kategori dan di klasifikasikan menjadi 4 judul:
a)      Yang tidak dihasilkan dan tak menghasilkan
Kategori ini ialah Jiwa Kosmik (PURUSA), yakni yang tak berevolusi serta tak berkembang; yang tak menyebabkan yang mana juga bukan sebaba musabab daripada sesuatu keadaan yang bermode baru.
b)      Yang tidak dihasilkan tapi menghasilkan
Unsur kedua disebut Unsur Zat Kosmik (PRAKRTI), yakni yang tak berevolusi tapi berkembang, sebab musabab yang tak menyebabkan daripada keadaan phenomena.  
c)      Yang dihasilkan dan menghasilkan
Unsur ketiga terdiri atas 7 kategori yang berkembang bertahap / lambat laun terjadi disebabkan dan merupakan sebab musabab mode baru dari pada keadaan, yaitu:
MAHAT (Kecerdasan Kosmik)
AHAMKARA (Prinsip perwujudan individu)
5 TANMATRA (elemen halus panca indra), yakni:
         Sari suara (Sabda)
         Sari sentuhan (Sparsa)
          Sari bentuk (Rupa)
          Sari aroma (Rasa)
          Sari wangian (Gandha)
d)     Yang dihasilkan dan tidak menghasilakan
Unsur ke empat terdiri dari 16 kategori yang berkembang, disebabkan sesuatu, tapi tidak merupakan sebab musabab dalam keadaan mode baru, yaitu:
FIKIRAN KOSMIK (MANAS/COSMIC MIND)
5 Jenis daya pancaindra abstrak
Daya pendengaran (SROTA)
Daya merasakan (TVAK)
Daya penglihatan(CASKUS)
Daya perasaan lidah (RASANA)
Daya pencium (GHRANA)
5 KARMENDRIYA (Pancaindra kerja abstrak/Abstract Working Senses)
a.       VAK (daya menyatakan)
b.      UPASTHA (daya memperanakkan)
c.       PAYU (daya mengeluarkan)
d.      PANI (daya memegang)
e.       PADA (daya bergerak)
5 MAHABUTA (PANCA MAHA BHUTA/SENSE PARTICULARS)
a.       AKASA (Unsur Ether)
b.      VAYU (Unsur Udara)
c.       TEJAS (Unsur Api)
d.      APAS (Unsur Air)
e.       PRTHIVI (Unsur Tanah)
Purusa dan Prakrti
Purusa artinya, jiwa /roh  alam semesta, yaitu prinsip kodrat alam meengobori semangat universil dan ini merupakan sumber kesadaran /keinsyafan. Purusa sering sekali identik dengan Brahma, Visnu, Siva, Durga.
            PRAKRTI, artinya  yang ada sebelum sesuatu dihasilkan,yakni sumber atau asal utama daripada segala sesuatu yang ada; unsur zat yang orsinil dari yang mana segala sesuatu dijadikan, dan akhirnya segala sesuatu akan kembali kepadanya. Prakrti dapat dipahami perantaraan akal budi, dan diketahui melalui praktek Yoga.
            Guna
Prakrti terdiri atas tiga unsure pokok daya yang disebut: GUNA (Daya) yaitu[2]:
a.       Sattva Guna yaitu daya terang atau tenaga yang membawa kegirangan, kebahagiaan, dan sebagainya.
b.      Rajas Guna yaitu tenaga penggerak yang menimbulkan kepedihan.
c.       Tamas Guna yaitu tenaga yang menentang aktivitas, yang menimbulkan mati rasa atau sifat masa bodoh, lamban, malas, dan sebagainya.
Prakrti dengan ketiga daya/gunanya merupakan akar dari segala perubahan, fondamen realitas dan inti-sari dari segala unsure benda. Sedangkan Purusa dan Prakrti dengan ketiga guna-nya adalah roh dan unsur zat alam semesta, demikian teori sistim Sāmkhya.
2)      Sistim Vedanta
Akibat dari penafsiran yang berbeda-beda maka timbullah aliran-aliran filsafat Wedanta. Secara umum aliran filsafat Wedanta ada tiga yang terkenal yakni: aliran Adwaita oleh Sankara, Wasistadwaita oleh Ramanuya, Dwaita oleh Madva[3].
Aliran filsafat Wedanta:
1.      Adwaita
Adwaita artinya “tidak dualisme” maksudnya Adwaita menyangkal bahwa kenyataan ini lebih dari satu (Brahman), walaupun demikian sistim ini bukan bersifat monistis yang mengajarkan bahwa segala sesuatu dialirkan dari satu asas saja, melainkan disamping dari Brahman masih ada Atman yang merupakan sumber kekuatan.
Tokoh aliran ini adalah Sankara (788 - 820 M). sankara ragu-ragu akan ketentuan dari Upanisad yang menyatakan bahwa dunia ini menciptakan oleh Brahman, akan tetapi tidak percaya akan keaneragaman di alam ini sebagai yang dianjurkan oleh Ramanuya. Sankara menyatakan ada secara nyata (sat) adalah kekal. Hanya Brahmanlah yang disebut Sat, artinya hanya Brahmanlah yang kekal. Di luar Brahman keadaan adalah a-Sat, artinya di luar Brahman tidak ada sesuatu apapun. Akan tetapi dunia ini Nampak beraneka ragam. Jadi dunia bukanlah sat, dunia ini bukan Brahman. Sankara juga menyatakan bahwa dunia ini bukan a-sat, tidak ada sama sekali. Sebab dunia ini Nampak benar-benar ada, dapat kita amati. Oleh karena itu harus dikatakan bahwa dunia adalah betul-betul ada dan maya, karena tidak kekal.
Menurut Sankara bahwa Brahman, disatu pihak sama dengan jiwa perorangan dan dengan dunia, akan tetapi dilain pihak dibedakannya.  
2.      Wasistadwaita
Tokoh filsafat ini ialah Ramanuya (1050-1137), ia menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis komentar tentang Bhagawadgita. Alirannya disebut Wasistadwaita. Wasistadwaita berasal dari kata wasis dan dwaita, wasis berarti yang diterangkan atau yang ditentukan yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh sifat-sifatnya.
Menurut Ramanuya adalah bahwa Brahman Jiwadan dunia memang berbeda, tetapi tidak dapat dipisah-pisahka, sekalian ketiga-tiganya adalah kekal[4].  
3.      Dwaita
Tokoh aliran ini adalah Madva (1199-1278), menurut dwaita pokok-pokok ajaran dwaita adalah perbedaan (bheda). Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini adalah nyata bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theistis, karena menerima adanya Tuhan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madva mengakui/ percaya dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam[5].
Dasar ajaran Madva adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semuanya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Pada prinsipnya perbedaan itu adalah segala sesuatu adalah mempunyai wujud tersendiri. Menurut Madva dunia ini ada lima macam perbedaan, yaitu:
a.       Perbedaan tentang Tuhan dengan Jiwa manusia,
b.      Perbedaan antara Jiwa dengan Jiwa lainnya,
c.       Perbedaan antara Tuhan dengan benda,
d.      Perbedaan antara Jiwa dengan benda,
e.       Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainnya.
Tuhan, Jiwa dan benda ketiganya sama-sama kekal adanya, sekalipun demikian hanya Tuhan yang merdeka dan bebas, tidak bergantung kepada siapapun dan apapun.
3)      Sistim Yoga
Istilah “Yoga” berasal dari katadasar ‘yuj’ berarti penggandaran atau bergabung. Bermakna bergabungnya jiwa individu (jivatman) dengan Jiwa Universil (Paramatman). Sistim Yoga adalah suatu sistim kebudayaan untuk menyempurnakan kerapian manusia. Dasar filsafat sistim Yoga adalah sistim Sāmkhya. Para rsi kuno telah memperluas hukum-hukum evolusi alam semesta yang mencakup evolusi individu,memperlihatkan bahwa individu hanya merupakan dunia kecil (mikrokosmos) daripada alam semesta besar (makrokosmos). Sistim ini yang berlaku bagi indivdu disebut Filosofi Yoga. Pembina sisitim Yoga adalah Patanjali, namun bukan ia menemukan ilmu Yoga, sebab Yoga adalah suatu kesenian yang terdapat sejak awal adanya waktu.
Tujuan utama Yoga ialah membebaskan manusia dari ketiga jenis penderitaan:
a.       Yang timbul dari kelemahan, kesalahan tingkah laku dan penyakitnya.
b.      Yang timbul dari perhubungannya dengan makhluk lain, seperti harimau, pencuri, dll.
c.       Yang timbul dari perhubungannya dengan Alam diluar, seperti elemen-elemen dan daya-daya abstrak, halus yang sukar diketahui. 
 Filosofi sistim Yoga
Sistim Yoga juga mengandaikan doktrin kosmos seperti yang dijelaskan sistim Sāmkhya. Salah satu perbedan yang terdapat antara kedua sistim ialah: sistim Sāmkhya condong kepada kondisi universil alam, sedangkan sistim Yoga cenderung kepada kondisi individu alam. Mengenai peoses evolusi dan ‘involusi’ (proses kemunduran), kedua sistim itu sependapat. Kedua sistim tersebut berlandaskan dasar logika utama sebagai pangkal pembicaraan yang tak mungkin barang sesuatu dihasilkan dari “ke-tidak-adaan” dan sebab baying-bayang pasti ada sesuatu hakekatnya. Oleh sebab itu sistim Yoga mempertahankan, bahwa individu kasar suatu aspek halus yang daripadanya akan dijelmakan pribadinya, dan kepadanya ia akan kembali. Menurut sistim Yoga, Jiva (Life) atau asas kehidupan itu bukan suatu kreasi baru, ia hanya merupakan suatu pengembangan.
Individu bertindak dari kondisi Jiwa Universil (Purusa) dan Unsur Zat (Prakrti) untuk menjelma sebagai roh atau jiwa individu, maka manusia terdiri dari aspek halus dan aspek kasar. Segala benda mempunyai kendaraaan/sarana untuk menjelma masing-masing, kendaraan kekuatan spiritual ini disebut ‘linga sarira’. Linga berarti tanda tak berubah-ubah yang membuktikan keadaan barang sesuatu, ‘sarira’ artinya: badan. Kedua istilah tersebut menggambarkan badan halus yang disertai roh atau jiwa (jiva) individu yang menghidupkan badan fisiknya. Linga Sarira terdiri dari 18 elemen yakin: kecerdasan (budhi), ego (ahamkara), fikiran (manasi), 5 indera-mengenal (jnanendriya), 5 indera-bekerja (karmendriya), 5 elemen halus (tanmatra).
Sastra Yoga
Kitab pelajaran tertua Yoga adalah Yogasūtra susunan Patanjali ada empat yaitu:
1.      Berisikan 51 peribahasa/pepatah, memperbincangkan sifat dan tujuan Samadhi (samādhipada)sebagai teori ilmu Yoga;
2.      Berisikan 55 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan seni Yoga, menjelaskan jalan untuk mencapai tujuannya, yakni latihan spiritual (Sādhanapāda).
3.      Berisikan 54 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan kekuatan luar biasa/sakti yang dapat tercapai perantaraan praktek-praktek Yoga (Vibhutipada).
4.      Berisikan 34 peribahasa / pepatah, yang memperbincangkan emansipasi terakhir (Kaivaiyapāda), realisasi manusia yang dapat memisahkan diri dari fikiran dan unsur zat.  
 
4)      Sistim Nyaya
Simtim Nyaya adalah ilmu logika, memperlengkapi suatu metode falsafat yang benar untuk menyelidiki obyek dan subyek penngetahuan manusia. Tujuan sistim Nyaya ialah untuk memungkinkan umat manusia mencapai tingkat kehidupan tertinggi, kesentosaan, penbebasan kemerdekaan dan sebagainya. Nyaya muncul akibat adanya perdebatan diantara para ahli pikir didalam mereka berusaha mencari kebenaran dari ayat-ayat Weda untuk dijadikan landasan melaksanakan upacara-upacara korban. Dari hal itu timbullah kemudian patokan-patokan bagaimana mengadakan penelitian yang benar dan logis. Sistim Nyaya dipelopori Gotama, yang hidup pada abad keempat sebelum masehi dengan hasil karya disebut Nyaya-sutra. Nyaya merupakan suatu sistim logika untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Sistim ini disebut juga Tarkavidya (pengetahuan debat) atau Vadavidya (pengetahuan diskusi). Aliran filsafat Nyaya tergolong pula kedalam kelompok filsafat astika (ortodok) yakni filsafat yang mengakui kedaulatan dan kebenaran ajaran Weda. Nyaya mengajarkan bahwa dunia diluar diri manusia benar-benar ada dan terlepas dari pikiran manusia sehingga Nyaya disebut pula sistim yang realistis.
Manusia dapat dapat memiliki pengetahuan tentang dunia diluar dirinya dengan perantaraan indra-indranya serta fikirannya. Sejauh mana kebenaran dari alat dan cara yang dipergunakannya dalam mencari kebenaran obyeknya. Cara atau alat untuk mendapatkan pengetahuan disebut premana dan pengetahuan yang benar disebut prama. Nyaya mengajarkan ada empat alat atau cara untuk mencari atau mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu[6]:
1.      Sabda pramana (cara kesaksian);
2.      Upamana pramana (cara pembandingan);
3.      Anumana pramana (cara penyimpulan yang logis);
4.      Pratyaksa pramana (cara pengamatan langsung).
            Disamping pengamatan terhadap obyek yang nyata maka Nyaya juga mengajarkan bahwa obyek yang yang tidak ada maupun yang tidak nyata pun dapat diamati.
Contoh: adanya daun yang tidak berwarna hijau, sedangkan umumnya daun berwarna hijau. Jika kita mengamati daun yamg tidak berwarna hijau maka kita akan melihat tidak adanya warna hijau. Jadi, ketidak adaan warna hijau dapat kita amati melalui daun tadi. Ini menunjukkan bahwa tidak adapun dapat diamati pula.
Tuhan
Nyaya meyakini kebenaran Weda, maka penganut Nyaya (Naiyayika) percaya akan adanya Tuhan dan Tuhan disamakan dengan Siwa. Untuk membuktikan adanya Tuhan Nyaya mengemukakan dua macam pembuktian tentang Tuhan yaitu[7]:
a.       Bukti Kosmologi:
Pembuktian ini menyatakan bahwa dunia ini adalah akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu tentu ada sebab yang pertama dan utama. Sebab itulah Tuhan. Tidak ada sebab pertama kecuali Tuhan karena segala sesuatu yang diketahui oleh manusia memiliki kemampuan yang terbatas selain Tuhan. Tidak ada sesuatu sebagai penciptaannya sendiri kecuali Tuhan.
b.      Pembuktian Teologis:
Pembuktian ini menyatakan bahwa di dunia ini ada suatu tata tertib dan aturan tertentu sehingga dunia menampakkan suatu rencana yang berdasarkan pemikiran dan tujuan tertentu. Tentu ada yang mengadakan rencana dan tujuan tersebut. Yang mengadakan itulah Tuhan.
Tuhan disebut juga Paratman karena Tuhan termasuk golongan jiwa tertinggi yang bersifat kekal abadi, berada dimana-mana, memenuhi alam dan merupakan kesadaran agung.  Tuhan menjadi sebab pertama adanya alam semesta. Tuhan sebagai penggerak pertama dan utama dari atom-atom yang menjadikan benda-benda di alam ini. Tuhan menciptakan, merawat, dan melebur alam dengan segala isinya sesuai dengan pengaruh karma dari alam dan isinya. Tuhan pula menjadi pengatur dan mengodratkan hukum kepada alam semesta sehingga berlakunya hukum alam (rta) yang mengatur alam dengan segala isinya secara teratur dan harmonis. Dalam kekuasaan inilah makhluk hidup menikmati suka-duka dalam usaha menuju kelepasan.
Tuhan menciptakan alam ini adalah untuk kebahagiaan semua makhluk. Walaupun demikian, dunia ini diciptakan lengkap dengan derita dan kebahagiaan dalam bentuk yang beraneka ragam. Dapat tidaknya makhluk menikmati kebahagiaan di dunia ini sangat tergantung dari benar tidaknya pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk itu untuk melandasi hidupnya.
Atma
Nyaya juga mengakui adanya atma (jiwatma) yang menjadi penghidup semua makhluk hidup. Makhluk hidup (manusia) terdiri dari badan, fikiran (manas) dan jiwa (atma). Jiwa itu merupakan tenaga penggerak dan hidupnya makhluk hidup. Jumlah jiwatma tidak terbatas serta bersifat kekal abadi, walaupun jiwa itu karena pengaruh karma sering mengalami suka dan duka serta kelahiran kembali. Jiwātma menjadi mengalami penderitaan ataupun kesenangan karena dilayani oleh manas (fikiran) yang melalui panca-indra senantiasa menikmati panas-dinginnya, suka-dukanya maupun berbagai keadaan di dunia ini.
Nyaya juga meyakini kebenaran hukum karma sehingga menyatakan bahwa makhluk-makhluk di dunia terikat akan hasil usahanya (karmanya). Karena keterikatan itu menyebabkan jiwatma menjadi terbelenggu oleh hasil karmanya yang akhirnya mengakibatkan makhluk mengalami suka dan duka (derita), jiwa mengalami kelahiran. Selama jiwatma itu terikat akan phala karma, selama itu pula jiwatma akan mengalami kelahiran. Hal itu disebabkan karena ketidaktahuan (awidya) terhadap kebenaran sejati.
Kelepasan
Kelepasan merupakan tujuan dari makhluk (manusia). Kelepasan akan dapat dicapai dengan melalui pengetahuan yang benar dan sempurna. Pengetahuan akan didapat dari tuntunan Tuhan melalui ajaranNya. Sebagai wujud dari kelepasan ialah terbebasnya jiwatma dari kelahiran, kesenangan maupun penderitaan. Wujud dari kelepasan yaitu suatu keadaan yang tidak terikat akan karma ataupun phala karma.     
5)      Sistim Mimamsa
Istilah “Mimamsa” berasal dari katadasar “man”, berarti berfikir, memperhatikan, menimbang atau menyelidiki. Ditinjau dari segi Etimologi (ilmu asal kata) ia bermakna: ingin berfikir; di sini menandakan suatu pemikiran pemeriksaan atau penyelidikan dari pada Weda, lantaran ia memperoleh suatu pandangan dalam pada Weda—Kebenaran Abadi, maka digolongkan sebagai Darsana (Falsafat), yaitu istilah Sansekerta untuk falsafat, artinya pandangan Kebenaran.
Pembina sistim Mimamsa ialah Jaimini. Mimamsa dibagi menjadi dua sistim, yakni Purvamimamsa artinya, yang berurusan dengan bagian lebih dahulu dari pustaka Weda. Sistim ini juga disebut Karma Mimamsa, menafsirkan aksi terlarang dalam Weda memimpin ke jurusan kebebasan roh/soul; Uttaramimamsa, berurusan dengan bagian akhir dari pustaka Weda, sistim ini juga disebut Jnana Mimamsa menafsirkan pengetahuan yang dikemukakan dalam/ pustaka Weda.
Tujuan Mimamsa adalah menyelidiki sifat Perbuatan Benar (Dharma) dasar utamanya ialah perbuatan (aksi) merupakan wujud kehidupan manusia. Perbuatan benar adalah syarat mutlak kehidupan spiritual. Semua perbuatan mempunyai dua pengaruh atau akibat; satu yang luar (external) dan satu yang dalam (internal); yang satu nyata dan yang lain terpendam; yang satu kasar dan yang lain halus. Pengaruh dalam bersifat kekal, dianggap sebagai “keadaan/being”; sedangkan pengaruh luar bersifat sementara. Maka perbuatan berfungsi sebagai kendaraan untuk menanam benih kehidupan pada masa yang akan datang.
Berlandaskan pendapat tersebut, Mimāmsā memeriksa semua perbuatan terlarang dalam pustaka Weda, serta membagi Weda menjadi dua bagian besar: Mantra dan Brahma. Perhatian utama Mimāmsā adalah keselamatan (salvation), bukan pembebasan (liberation). Mimāmsā menjiwai kehidupan bangunan bagian atas (superstructure) dari pada kebudayaan India.
Falsafat
Pangkal fikiran Mimāmsā tercantum dalam sajak pembukaan Mimāmsāsūtra (tersusun oleh Jaimini) yang berbunyi: “Kini adalah pemeriksaan kewajiban (dharma)”. Inilah dasar interprestasi seluruh Weda.
Definisi ‘dharma’ dalam teks tersebut berbunyi;”Kewajiban (dharma) adalah suatu obyek terkenal melalui suatu perintah”. Istilah ‘dharma’ berasal dari kata ‘dhar’, artinya memegang, menunjang, memelihara, atau mengawetkan. Kata ini bermakna sesuatu untuk dipegang, dipelihara atau diawetkan. Apabila bila dipakai dalam arti metafisika, ia berarti hukum Alam universil yang dapat diteruskan/dipertahankan operasi alam semesta dan manifestasi segala benda/hal; dan berarti pula bahwa tanpa ini (dharma) barang apapun tak akan terjadi.
Segala rituil dan upacara kebaktian yang diperintahkan dalam pustaka Weda dikatakan bermanfaat bagi penerangan fikiran dan evolusi. Oleh sebab itu sistim Mimamsa berusaha keras untuk membukakan betapa mereka itu berlandaskan dharma demi kebaikan manusia, dan menafsir pustaka Weda sebagai fondamen kebahagiaan abadi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan rituil kebaktian berdasarkan dharma (korban) yang benar, dengan pengertian bahwa kebajikan dikumpul lalu berbuah dalam kehidupan yang akan datang.
Menurut Jaimini, pengetahuan tentang dharma hanya dapat diperoleh melalui Penyaksian Kata-kata (Sabda). Ke-enam sarana pengetahuan yang dipakai sistim-sistim lain, menurut Jaimini kurang sempurna apabila berurusan dengan pengaruh/efek ritual yang tak kelihatan; maka ia hanya menerima Sabda atau Perkataan. Untuk mempertahankan kedudukannya (argumentasinya), ia menggariskan lima pernyataan:
1.      Setiap Perkataan (Sabda) mempunyai daya yang berpautan dengan artinya yang kekal abadi.
2.      Pengetahuan yang diturunkan dari Perkataan (Sabda) disebut Upadeca (ajaran).
3.      Dalam alam yang tak kelihatan, Perkataan (Sabda) merupakan penuntun mutlak.
4.      Pada hemat Badarayana, Perbuatan bersifat penguasa memerintah.
5.      Perkataan mencukupi keperluan pribadi, tidak tergantung pada pengertian yang lain, jika tidak demikian ia akan menjadi buah fikiran yang tak benar.
Alam
Mimamsa mengatakan bahwa alam ini riil dan kekal serta terjadi dari atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu: Subtansi, kwalitas, aktifitas, dan sifat umum.
Subtansi menurut Prabaka terdiri dari sembilan yaitu:
1.      Bumi                                                        6. Akal
2.      Air                                                           7. Pribadi
3.      Api                                                           8. Ruang
4.      Hawa                                                       9. Waktu
5.      Akasa
Sedang Kumarila Bhata mengajarkan ada 11 bagian subtansi yaitu sembilan yang diajarkan oleh Prabhakara ditambah lagi dua yaitu: kegelapan (tamasa) dan suara. Subtansi itu adalah sesuatu yang dapat diamati seperti debu halus yang tampak dalam sinar matahari. Subtansi, kwalitas, dan sifat umum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan secara mutlak walaupun ketiganya itu sebenarnya berbeda karena ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat.
Weda
Mimamsa mendasarkan ajarannya pada kitab suci Weda dan Weda diakui sebagai sumber pengatahuan yang maha sempurna. Walaupun Weda amat sempurna dan manusia tidak sempurna adanya, Weda bukan pula ciptaan Tuhan karena Weda telah ada tanpa ada yang mengadakan dan Weda ada dengan sendirinya sertabersifat kekal abadi. Kebenaran Weda mencakup kebenaran di dunia yang nyata ini dan di dunia yang tidak tampak oleh manusia.
Untuk dapat dipraktekkan, Weda dibagi menjadi dua bagian besar, yakni Mantra dan Brahmana; yang mana dibagi pula menjadi berikut[8]:
                   I.            Mantra atau Samhita: adalah sebagian Weda yang mengandung perintah,merupakan koleksi dari nyanyian suci yang menerangkan dan membina seseorang yang benar. Ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.      Rig-Veda: Suatu koreksi dari bagian yang mengandung perintah dari Veda, merupakan koleksi sajak-sajak suci; yang bersusunan metris untuk menyampaikan artinya.
2.      Sama-Veda: Suatu koreksi dari sajak-sajak yang dinyanyikan pada akhir upacara korban.
3.      Yajur-Veda: Dalam prosa tanpa irama sajak, yang terdiri dari dua jenis yaitu:
a.       Nigada, yang harys dilafalkan dengan keras suaranya.
b.      Upamasu, yang harus dilafalkan dengan suaru rendah atau diam-diam.
                II.            Brahmana
1.      Hetu – akal budi
2.      Nirvacanam – penjelasan
3.      Ninda – gugatan; kritik
4.      Prasansa – pujian
5.      Samsaya – kesangsian
6.      Vidhi – perintah
7.      Parakirya – perbuatan suatu individu
8.      Purakalpa – perbuatan para individu atau suatu negara meliputi uraian suatu individu atau para individu yang ditandakan dengan partikel ‘iti’, ‘ana’ atau ‘ha’.
9.      Vyavadharanakalpara – interprestasi suatu kalimat menurut konteksnya
10.  Upamana – perbandingan
Prinsip-prinsip diatas dipakai dalam Mimamsa terutama dalam upacara korban yang diperintahkan untuk kebaikan umat manusia.
Hukum Karma
Meskipun Mimamsa tidak mengajarkan hakekat hukum karma, namum Mimamsa yakin akan adanya sebab akibat atau pahala dari suatu perbuatan. Hukum karma merupakan hukum moril yang mengatur dunia beserta isinya. Apa yang terjadi di dunia ini adalah merupakan akibat dari karma terdahulu. Makhluk dan manusia tidak dapat membantah dan menentang serta lari dari kenyataan yang dia alami, karena semua itu adalah pahala dari karma terdahulu. Karma yang baik itu ialah perbuatan yang dilandasi oleh ketentuan yang diajarkan Weda yaitu: dharma (korban). Dan upacara korban itu hendaklah dilakukan dengan semangat tinggi, penuh kesadaran, tulus hati dan tidak mengahrapkan imbalan berupa buahnya.
Jiwa dan kelepasan
Makhluk-makhluk yang hidup di dunia ini terutama manusia dipandang berjiwa oleh Mimamsa. Atas dasar itu maka Mimamsa mengakui banyak  jiwa di dunia ini. Atma (jiwa) berjumlah tak terbatas dan ada dimana-mana serta kekal. Tiap-tiap tubuh mahkluk yang hidup memiliki satu jiwa. Jiwa merupakan subyek dan obyek pengetahuan[9].
Jiwa itu adalah kesadaran, sehingga mampu mencapai sebagai subyek pengetahuan. Sebagai obyek pengetahuan jiwa itu perlu dimengerti, dirasakan, dan disadari oleh makhluk (manusia) itu sendiri. Jiwa adalah kesadaran dalam diri manusia, maka jiwalah yang mengendalikan tubuh manusia untuk mendapatkan kelepasan. Hubungan indra dengan jiwa (atma) sangat erat karena indra merupakan alat untuk mengenal dunia luar yang selalu dikendalikan oleh jiwa. Apapun yang diketahui oleh indra, jiwa pun mengetahui.
Sebagai untuk mencapai kelepasan manusia dalam hidupnya senantiasa melakukan dharma yaitu, upacara keagamaan dengan benar-benar dilandasi oleh ketentuan-ketentuan Weda, dan sedapat mungkin menjauhkan diri dari segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan Weda. Bila jiwa itu kekal dan mengalami sengsara setelah manusia meninggal dunia, maka jalan yang patut ditempuh untuk membebaskan jiwa itu dari kesengsaraan adalah mengadakan upacara korban terhadap jiwa itu. Karena upacara korbanlah yang akan dapat memebersihkan dan membebaskan jiwa dari kesengsaraan. Orang yang tidak melakukan upacara korban keagamaan ini berarti mereka secara perlahanlahan merusak hidupnya dan tidak akan mendapatkan kelepasan, melainkan hanya nerakalah alam yang akan ditempati oleh jiwanya kelak. 
6)      Sistim Vaisesika
Vaisesika merupakan salah satu aliran filsafat India yang agaknya lebih tua dibandingkan dengan filasafat Nyaya-Vaisesika, fiolasafat ini muncul pada abad ke 4 SM, denagn tokohnya ialah Kananda (ulaka). Buah karyanya adalah Vaisesika Sutra yang merupakan sumber dari ajaran Vaisesika. Secara umum Vaisesika membicarakan soal dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan di dunia ini dan dapat emmberikan kelepasan. Ajarannya yang terpenting ialah tentang kategori (unsur) yang menjadikan segala sesuatu yang ada di alam ini. Vaisesika menyatakan ada tujuh unsur (kategori) yang menjadikan alam ini yaitu:
1.      Subtansi (drawya)
Subtansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa subtansi. Subtansi (drawiya) dapat menjadi sebab yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau drawiya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya.
Contoh: tanah sebagai subtansi telah terdapat pada periuk yang terjadi dari tanah. Jadi, tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi tanpa subtansi (tanah). Hal ini berlaku pada semua subtansi.
Ada Sembilan subtansi yang dinyataklan oleh Vaisesika yaitu[10]:
1.      Bumi (tanah)                                6.  Waktu (kala)                 
2.      Api (panas)                                  7.   Ruang (tempat)
3.      Air (zat cair)                                8.   Akal (manas)
4.      Udara (hawa)                               9.   Pribadi (jiwa(atma)
5.      Akasa (ether)
Semua subtansi tersebut diatas, riil, tetap, dan kekal, namun hanya hawa, waktu, dan akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan subtansi itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di ala mini baik bersifat physic maupun yang bersifat rohaniah.
Pandangan Vaisesika terhadap jiwa jiwa adalah riil dan pluralis yaitu jiwa itu benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya. Pandangan terhadap dunia Vaisesika menyatakan bahwa dunia dengan segala isinya terjadi dari kumpulan atom-atom yang riil dan tetap.
2.      Kwalitas (guna)
Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu subtansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (subtansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari subtansi yang diberi sifat. Pada subtansi terdapat lima kwalitas kebendaan yaitu: bau, rasa, warna, raba, dan rasa. Sedangkan kwalitas rohaniah terdiri dari duapuluh empat kwalitas yakni:
1.      Kesenangan         7.  Rasa            13.  Perbedaan                      19. Kepekatan
2.      Kesediha             8.  Bau              14.  Hubungan                      20. Pengetahuan
3.      Keinginan           9.  Sentulan       15.  Kejauhan                       21. Perjuangan
4.      Dharma             10.  Bunyi           16.  Kedekatan/ pertemuan  22. Kecenderungan
5.      Adharma           11.  Bilangan       17.  Tak berhubungan          23. Kesegaran
6.      Warna               12.  Besar             18.  Kecairan                       24. Kebahagiaan
Hubungan kwalitas dengan subtansi sangat erat dan tidak mungkin dipisahkan karena keduanya senantiasa mewujudkan satu kesatuan.
3.      Aktivitas (karma)
Vaisesika meyakini bahwa Tuhan secara anumana. Diyakini bahwa Tuhan adalah maha tahu, menjadi sumber kesadaran tertinggi dan Vaisesika meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan jalan mengatur komposisi atom-atom yang ada. Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini maka Tuhan Maha mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di ala ini termasuk mengetahui benar perilaku (karma) manusia.
 
4.      Sifat umum (samanya)
Sifat umum (samaya) ialah sifat terdapat pada sekelompok atom yang sudah tentu berbeda-beda dengan sifat atom lain, seperti sifat kelompok atom air akan berbeda dengan sifat kelompok atom bumi maupun dengan sifat kelompok atom manas. Samaya menyebabkan adanya kelompok-kelompok subtansi yang berbeda-beda di alam ini. Namun disamping sifat umum, maka setiap benda termasuk atom-atom memiliki sifat perorangan yang kekal, yang membedakan satu atom dengan atom lain.
   
5.      Sifat Perorangan (wisesa)
Sifat perorangan ada banyak dan beraneka ragam karena setiap benda atau orang memiliki sifat tersendiri dan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena setiap subtansi memiliki wisesa maka, wisesa ini bersifat kekal, oleh karena ala mini terjadi dari subtansiyang kekal.

6.      Pelekatan (samawaya)
Pelekatan juga bersifat kekal dan hanya ada satu yang disebut Samawaya. Pelekatan dikatakan kekal karena pelekatan itu trjadi pada benda-benda yakni pelekatan antara benda (zat) dengan kwalitasnya seperti: api-panas, kapur-putih, tinta-hitam, dan sebagainya. Sifat kelekatan itu hanyalah satu walaupun terdapat pada bermacam-macam subtansi.

7.      Ketidak adaan (abhawa)
Abhwa dikatakan katagori yang bersifat negatif karena abhawa menyatakan ketidak-adaan dari sesuatu. Jadi, abhawa menyebabkan terjadinya sesuatu yakni ketidak-adaan. Abhawa dibedakan atas dua yaitu:
a.       Samsargabhawa adalah ketidak adaan suatu benda karena memang belum pernah dibuat.
b.      Anyonyabhawa adalah ketidak adaan dari suatu benda karena rusak (hancur).
Demikianlah ketujuh katagori itu menjadikannya segala sesuatu di alam ini sehingga manusia menyaksikan adanya segala sesuatu beraneka ragam.
Daftar Pustaka
D.D. Harsa Swabodhi, Budha Dharma & Hindu Dharma, Yayasan Perguruan “Budaya”, Sumatera Utara, 1980
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009
I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta, 1990


[1] D.D. Harsa Swabodhi, Budha Dharma & Hindu Dharma,(Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya”,1980),h.10
[2] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), cet. 16, h. 30
[3] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), h. 68
[4] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 78
[5] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 86
[6] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, (Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya” & I. B. C, 1980), h. 21
[7] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, h. 25
[8] D. D. HarsavSwabodhi, Upamana-Pramana Budha Dharma & Hindu Dharma, (Sumatera Utara: Yayasan Perguruan “Budaya” & I. B. C, 1980), h. 30 
[9] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), h. 42
[10] I Gede Rudia Adiputra. I Wayan Suarjaya. I Gede Sura, Tattwa Darsana, h. 31